Kisah Inspirasi Pramoedya Ananta Toer – Kesempatan itu Dibuat, Bukan Ditunggu

Kisah Inspirasi Pramoedya Ananta Toer – Kesempatan itu Dibuat, BukanDitunggu

Adakah yang mengikuti perkembangan dunia sastra dan perfilman di Indonesia? Jika ya, pasti tak asing dengan kehebohan dunia entertainment Indonesia terkait pemain utama dari film Bumi Manusia baru-baru ini. Film legendaris yang diangkat dari novel yang berjudul “Bumi Manusia” karangan Pramoedya Ananta Toer ini telah memiliki banyak penggemar.

Nah, masalahnya, para penggemar novel ini tidak terima jika tokoh utama yang bernama ‘Minke’ dimainkan oleh Iqbal CJr. Menurut mereka, Iqbal yang merupakan jebolan boy band Coboy Junior ini belum pantas memainkan karakter Minke, yang terkenal dengan pemikiran kritisnya.

Iqbal dianggap sebagai aktor yang masih baru dalam dunia perfilman Indonesia, sehingga penggemar Iqbal beranggapan bahwa ‘bocah’ ini belum memiliki pengalaman mumpuni dalam perfilman. Selain itu, penggemar khawatir jika Iqbal tidak bisa memberikan pengambaran yang baik tentang karakter Minke.

Di sisi lain, para penggemar Iqbal pun ikut membela idolanya dan berdalih bahwa akting Iqbal tentu tidak bisa dijustifikasi buruk seperti itu, mengingat Iqbal bahkan belum berkesempatan membuktikan kemampuannya. Toh film Bumi Manusia juga belum digarap.

Terlepas dari kontroversi film Bumi Manusia, apakah Iqbal mampu membawakan sosok Minke yang brilian atau tidak, akar dari kontroversi ini tak lain karena Bumi Manusia dianggap sebagai karya sastra hebat dan seorang sastrawan hebat. Karena penulis dan karyanya ini begitu diagungkan, para penggemar pun tak rela jika ada kecerobohan dalam memvisualisasikan karya hebat ini.

Film Bumi Manusia harus ditampilkan dengan cara brilian, layaknya karya sastra brilian dari Pramoedya Ananta Toer. Apakah ada yang masih belum punya gambaran, sehebat apa sosok penulis Bumi Manusia ini hingga digandrungi dengan begitu santernya?

Ia dianggap sebagai seorang penulis novel yang sekarang menjadi inspirator bagi penulis novel lainnya. Lantas, tahukah kamu bahwa ada kisah hebat dalam proses beliau menuliskan karya-karya sastranya ini?

Membuat Kesempatan Sendiri

Pramoedya Ananta Toer lahir di Blora, 6 Februari 1925. Pramoedya yang sering dipanggil dengan nama Pak Pram ini, termasuk penulis yang kritis. Beliau sering mengkritik pemerintahan lewat cerita-cerita di dalam novelnya. Karena itulah beliau sering keluar masuk penjara, sejak masa kolonial sampai pada masa pemerintahan Presiden Soeharto.

Pada masa pemerintahan Presiden Soeharto inilah, Ia harus diasingkan ke Pulau Buru lantaran dianggap seorang yang pro-Komunis. Malangnya, tidak hanya diasingkan, semua bukunya dilarang dari peredaran. Ia bahkan ditahan tanpa pengadilan.

Di dalam pengasingannya, Ia merasakan bagaimana kerasnya hidup di pulau yang belum terjamah oleh pembangunan. Di sana ia dipaksa untuk bekerja rodi dan melakukan pembukaan hutan dan pekerjaan berat lainnya. Tidak hanya itu, Pak Pram dan tahanan lainnya sering mendapatkan tindakan keras dari para pengawal.

Anehnya, walaupun Pak Pram diasingkan di Pulau Buru, ia tidak patah semangat dalam menghasilkan karya. Jiwanya sebagai seorang sastrawan membuat dirinya tidak bisa dipenjara meski ia diasingkan. Ia menceritakan pada teman-teman tahanannya, bahwa ia menulis novel yang masih setengah jadi. Ia ingin melanjutkannya.

Baginya, ia tidak boleh menunggu kesempatan datang. Jika ia harus menunggu sampai kesempatan yang baik datang untuk bisa menulis, saat ia berada di tempat yang mendukung untuk menulis, saat semua fasilitas tersedia, artinya ia harus tertahan dalam menghasilkan karya.

Menunggu kesempatan hanya akan membuat langkahnya tertahan karena kesempatan belum tentu datang. Maka, apa yang bisa ia lakukan adalah dengan membuat kesempatannya sendiri.

Di dalam pengasingan, jelas bahwa menulis adalah hal yang menantang. Ia sudah dibebani dengan aneka pekerjaan berat di ladang sehingga ia sudah kelelahan dan tidak bisa menulis. Beruntung, pemberitaan di luar negeri tentang penahanan wartawan dan sastrawan di Indonesia memunculkan desakan dari publik luar negeri untuk memberikan kebebasan pada para wartawan dan satrawan.

Karena desakan inilah, setelah beberapa lama berhenti menulis, Pak Pram akhirnya bisa melanjutkan menulis atas perijinan kepala keamanan. Ia membuat kesempatannya sendiri. Ia berusaha mendapatkan mesin tik dari temannya dari luar negeri, sekalipun mesin tik itu tidak pernah sampai ke tangannya.

Mesin tik yang baru pemberian kawannya dari luar negeri diganti dengan mesin tik usang yang pitanya harus dibuat oleh para tahanan. Walaupun begitu, Pak Pram tetap bersyukur karena ia telah mendapatkan kesempatannya berkarya.

Ia pun rutin meluangkan waktunya selama lima menit untuk membaca dan lima belas menit untuk menulis dengan berburu waktu senggangnya sendiri. Ia sendiri yang harus mengatur waktu dan menciptakan peluangnya sendiri agar bisa menulis, bukan menunggu dipersilahkan oleh para penguasa di tahanan.

Pak Pram bahkan masih harus berkerja keras untuk menyembunyikan tulisan itu di tempat yang aman, agar tidak ketahuan oleh pihak keamanan. Sebab, di penjara, sekalipun telah diberi ijin, pihak keamanan tidak sepenuhnya memberi dukungan.

Bahkan, jika tulisannya diketahui oleh pihak keamanan, tulisan itu bisa disita dan dibakar. Karenanya, ia harus berupaya keras mengamankannya. Untuk itu, ia dibantu oleh teman-teman tahanan dan teman-temannya yang lain agar bisa menyembunyikan tulisannya. Selain menyembunyikan tulisan ini, teman-teman Pak Pram juga membantu menerbitkan tulisannya di negara lain.

Pak Pram memang beruntung memiliki teman-teman tahanan yang bersedia membantunya menggarap novel-novel ini. Para tahanan yang menjadi sahabatnya ini memberikan informasi dan memberikan inspirasi dalam menentukan karakter tokoh-tokoh novelnya. Beliau sangat senang menerima aspirasi dari teman-temannya. Dengan bantuan teman-temannya ini, ia banyak menerima ilmu baru.

Simak juga: Cara Bijak Menghadapi Penghinaan Ala KH Agus Salim

Hidup itu Pilihan

Pak Pram masih gemar membaca untuk memenuhi rasa keingintahuannya. Rasa ingin tahu Pak Pram tak pernah lekang sekalipun dia tidak mendapatkan kebebasan seperti dulu. Setidaknya, ia mendapatkan kebebasan dengan membaca buku yang dipunyainya. Dari buku-buku ini pula, ia dapat menggali inspirasi baru untuk tulisan-tulisannya.

Perjalanan kehidupan Pramoedya Ananta Toer ini memang penuh liku dan menarik untuk disimak. Namun, Pak Pram tidak pernah ingin menuliskan kisahnya sendiri. Suatu ketika, ia pernah ditanya oleh rekannya “Kenapa tidak pernah menulis cerita tentang kehidupan sendiri?”.

Ia menjawab bahwa ia sendiri sudah muak dengan kehidupannya. Dengan menulis kisahnya sendiri, mungkin ia akan merasakan sesal atas kehidupan yang dimilikinya. Walaupun begitu, ia tidak pernah bersedih atau menyesalinya, tentang pilihannya menjadi penulis yang kritis.

Ia tetap menjalankan pilihan hidupnya dengan senang hati, walaupun banyak halangan yang merintangi langkahnya. Seperti saat menulis novel Bumi Manusia, ia yang biasanya menulis novel dengan segala penelitian, tapi ia tidak bisa melakukan penelitian itu karena tengah diasingkan di Pulau Buru. Tapi, ini tak akan membuat langkahnya terhenti. Hidup itu pilihan. Jika bisa memilih yang lebih baik, kenapa harus mengambil yang terburuk?

Walaupun keadaan tidak memungkinkan dirinya melakukan penelitian, ia tetap berusaha mengetahui bagaimana latar dari kisah di dalam novel yang akan diambilnya dengan berbagai cara. Dalam Bumi Manusia, ia mengambil latar pada tahun 1890-1910-an. Untuk mengetahui latarnya, ia berusaha bertanya kepada teman-teman seperjuangannya di Pulau Buru.

Karya yang disusun ketika berada di penjara inilah yang terkenal dengan sebutan Tetralogi Pulau Buru, yang salah satunya adalah novel Bumi Manusia. Novel ini begitu booming di berbagai belahan dunia dan telah diterjemahkan dalam tiga puluh tiga bahasa. Luar biasa bukan? Sebuah karya yang dihasilkan dari dalam penjara, bisa menorehkan prestasi sebesar itu.

Belajar Arti Kemerdekaan

Kita dapat belajar kepada Pramoedya Ananta Toer tentang apa arti kemerdekaan dan arti perjuangan itu sendiri. Seandainya saja kita merasa bahwa diri kita tidak bebas, kita tetap memiliki jalan untuk meraih kebebasan diri kita sendiri. Bebas tidaknya adalah bergantung dari pilihan kita.

Di dalam novelnya yang berjudul Jejak Langkah, Pak Pram menuliskan bahwa masa terbaik dalam hidup adalah masa ketika kita dapat menggunakan kebebasan yang telah direbut sendiri. Ia mengajarkan bahwa perjuangan tidak hanya melalui fisik, tetapi juga melalui perjuangan intelektual.

Perjuangan itu adalah dengan membaca dan menulis. Dengan membaca kita bisa mendapatkan pengetahuan yang tidak kita ketahui sebelumnya.  Dengan menulis kita bisa membagikan ilmu yang telah kita miliki, kepada orang lain.

Walaupun kebebasan kita dirampas, kita masih mempunyai berbagai cara dalam memperoleh kebebasan, kan? Seperti yang Pak Pram lakukan. Karena kesempatan itu dibuat, bukan ditunggu.

Referensi:

1. Ferri, Oscar.  https://www.liputan6.com/news/read/821735/pramoedya-ananta-toer-menjalani-sengsara-di-pulau-buru. Diakses pada 2 Juni 2018. 
2. https://www.jawapos.com/features/14/09/2016/kisah-tumiso-eks-tapol-pulau-buru-yang-menyelamatkan-naskah-naskah-karya-pramoedya. Diakses pada 2 Juni 2018.
*Penulis: Anita Puspa Eviani