Sejarah Sarekat Islam

Sarekat Islam awalnya sebagai organisasi yang bergerak dibidang perniagaan. Usulan H.O.S Cokroaminoto untuk memperluas Sarekat Dagang Islam, kemudian mengganti namanya menjadi Sarekat Islam. Pegantian nama menjadi Sarekat Islam terjadi pada tanggal 10 September 1912.

Ketua partai politik sarekat Islam pada saat itu yaitu H.O.S. Cokroaminoto. Pada kongresnya yang pertama kali bagi Sarekat Islam, yaitu terjadi pada tanggal 17 – 24 Juni 1916, Cokroaminoto mengungkapkan cita – cita kemerdekaan Indonesia berdasarkan Islam.

Akibat Cokroaminoto mengungkapkan cita – citanya pada kongres pertama tersebut, kemudian sarekat Islam terpecah menjadi dua, yaitu Sarekat Islam Putih dan Sarekat Islam Merah.

Sarekat Islam putih berubah menjadi Partai Sarekat Islam atau PSI yang kemudian berubah menjadi Partai Sarekat Islam Indonesia atau PSII. Sedangkan Sarekat Islam merah berubah menjadi Partai Komunis Indonesia.

Sarekat Islam memberikan lampu merah pada pemerintah kolonial bahwa organisasi modern yang mengandung Islam ini sangat berbahaya, dibandingkan dnegan aliran – aliran kepercayaan atau aliran – aliran kebatinan yanga da.

Hal tersebut dilatarbelakangi karena sarekat Islam lebih terampil dan sistematis dalam menyalurkan aspirasi masyarakat. Salah satu aspek yang penting dari Sarekat Islam sejak awal berdirinya yaitu kemampuannya untuk menempatkan diri seiring dengan aspirasi politik pada masyarakat luas untuk merdeka. Dengan kata lain dapat dinyatakan bahwa denyut nadi sarekat Islam adalah denyut nadi rakyat dalam segala hal.

Sarekat Islam menjadi bertambah luas jaringannya, sebagai organisasi yang tumbuh, kemudian bertopang pada kegiatan sosial ekonomi agama dan kemasyarakatan, maka bertambah sedikit fungsi – fungsi sosial yang diemban oleh organisasi tarekat, kebatinan, atau organisasi – organisasi spiritual lainnya.

Artikel terkait: Partai Indonesia Raya

Kondisi tersebut memaksa pemerintah kolonial untuk mengeluarkan pengakuan pada tanggal 30 Juni 1913 bahwa sarekat Islam sebagai badan hukum. Pengakuan tersebut tidak diberikan oleh pemerintah kolonial secara keseluruhan.

Hal tersebut dapat diartikan bahwa pemerintah Belanda akan memberikan pengakuan pada cabang – cabang sarekat Islam secara sendiri – sendiri. Keputusan Belanda tersebut menyebabkan lahirnya keputusan pemerintah belanda pada tanggal 18 Maret 1916 atas terbentuknya Central Sarekat Islam atau CSI. CSI dibentuk untuk membedakan antara Sarekat Islam daerah – daerah atau Sarekat Islam lokal.

Sarekat Islam lokal berdiri hampir di semua kota yang ada di jawa. Sarekat Islam lokal yang berdiri di hampir semua kota – kota di Jawa merupakan satu federasi cabang – cabang dengan Central Sarekat Islam atau CSI sebagai pimpinan pusat.

Berdirinya Sarekat Islam lokal, dijadikan wadah sebagai penyaluran baru atau kehendak – kehendak rakyat yang dianggap lebih efektif dalam menghadapi kenyataan kehidupan yang secara ekonomi telah dikuasai oleh pengusaha – pengusaha dari Cina dan modal – modal besar yang dimiliki oleh perusahaan – perusahaan asing.

Kongres ketujuh diadakan oleh Sarekat Islam di Madiun, pada tanggal 17 – 20 Februari 1923. Kongres tersebut mengambil keputusan, sebagai berikut.

  1. Mempertahankan disiplin kepartaian
  2. Mengubah nama sarekat Islam menjadi Partai Sarekat Islam.

Semaun mengadakan kongres Sarekat Islam di Bandung untuk menyaingi kongres Sarekat Islam yang diadakan di Madiun. Dalam kongresnya di Bandung diputuskan bahwa semua sarekat Islam lokal penganut Semaun, yang berhaluan komunis berganti nama menjadi Sarekat Rakyat dan menjadi landasan bagi Partai Komunis Indonesia.

Sarekat Islam yang terang merah menjadi sarekat rakyat. Tindakan tersebut diambil sebagai reaksi terhadap sikap sentral sarekat Islam yang mempertahankan disiplin kepartaian. Penggabungan sarekat Islam merah berganti nama sarekat rakyat menjadi Partai Komunis Hindia menjadi Partai Komunis Indonesia.

Referensi:

  1. Muljana, S. 2008. Kesadaran Nasional: Dari Kolonialisme sampai Kemerdekaan. Yogyakarta: LKis Yogyakarta.
  2. Nuralia, L dan Imadudin, I. 2010. Kisah Perjuangan Pahlawan Indonesia. Bandung: Ruang Kata.
  3. Mukhlis Paeni dalam Tim Ditjenbud. 2000. Dialog Budaya Spiritual. Jakarta: Direktorat Jenderal Kebudayaan.
*Penulis: Femi Ardiani