Perang Padri 1821 – 1837

Munculnya perang padri bermula dari pertentangan yang terjadi antara kaum adat dan kaum agama atau yang disebut dengan kaum padri. Asal nama padri, belum diketahui secara pasti. Ada beberapa pendapat yang mengatakan bahwa aliran padri ini masuk ke Sumatra melalui pelabuhan Pedir di Aceh, yang penganutnya dinamakan sebagai orang Pediri atau Paderi.

Namun, ada juga pendapat yang menghubungkan perkataan padri ini dengan perkataan Padre, merupakan bahasa Spanyol yang dipakai untuk menyebut orang – orang padri dalam agama Katolik yang berpakaian serba putih dan orang – orang padri juga berpakaian serba putih.  Kaum padri memiliki keinginan untuk memurnikan pelasksanaan agama islam. Menurut ajaran baru ini, orang – orang islam harus hidup sederhana dan menjauhkan diri dari segala kesenangan duniawi.

Selain menjauhkan diri dari kesenangan duniawi, ajaran lain yang diajarkan yaitu menjauhkan diri dari segala kesenangan duniawi. Kesenangan duniawi tersebut, antara lain menyambung ayam, madat, dan berpakaian yang serba indah – indah. Gerakan padri tersebut ditentang oleh kaum adat.

Kaum adat berusaha untuk meminta bantuan pada orang – orang Belanda. Bantuan tersebut dengan disertai imbalan, berupa sebagian wilayah Minangkabau. Pasukan padri yang dipimpin oleh Datuk Bandaro.

Setelah Datuk Bandaro wafat, kemudian kepemimpinan diganti oleh Tuanku Imam Bonjol.

Pada tahun 1821 pertentangan yang terhaji antara orang – orang padri dengan raja – raja itu meruncing. Kaum padri mengadakan kekerasan dan melenyapkan kekuasaan raja – raja.

Pada saat mengadakan kekerasan dan melenyapkan kekuasaan raja, Bonjol dengan Tuanku Imam sebagai pemimpinnya, menjadi pusat kekuasaan dari orang – orang padri. Pemerintahan Belanda di Padang menawarkan bantuan terhadap raja – raja di Minangkabau. Tujuannya untuk memperluas pengaruhnya di Minangkabau, sehingga Belanda dapat menyerbu daerah pedalaman dan mendirikan benteng di Batusangkar, yang diberi nama Fort van der Capellen.

Orang – orang padri yang mengetahui akan keadaan rimba raja dan keadaan alam yang ada di tanah Minangkabau itu mengadakan perang. Pasukan padri yang memiliki taktik perang gerilya, berhasil mengacaukan pasukan Belanda. Pada tahun 1825, terjadi genjatan senjata dengan pasukan Belanda.

Artikel terkait: Sejarah Indische Partij: Tujuan dan Program Kerjanya

Belanda pun mengakui beberapa wilayahnya sebagai daerah kaum padri. Pada tahun 1830, kaum adat mulai banyak membantu kaum padri, karena tidak menyukai kesewenangan pasukan Belanda. Belanda melakuan penyerangan pada Bonjol tahun 1832, pada saat itu Tuanku Imam sedang meluaskan daerahnya ke arah barat, tepatnya di tanah Batak Selatan, terutama di wilayah Mandailing.

Pada saat itu, sebagai siasat perang, Tuanku Imam Bonjol menyerah, namun semenjak penyerahan itu secara diam – diam, Tuanku Imam mengumpulkan tentaranya lagi. Tepat pada tahun 1833, terjadilah pertempuran yang hebat di daerah Agam. Pada waktu peperangan ini, Belanda mengirimkan Sentot untuk memerangi orang – orang padri, akan tetapi karena dicurigai oleh Belanda, ia dipindahkan dari Minangkabau.

Pada tahun 1834 Belanda mulai mengepung pasukan Tuanku Imam Bonjol. Namun, sayangnya pasukan padri dapat bertahan sampai dengan tahun 1837. Pada tanggal 25 Oktober 1837, benteng Tuanku Imam Bonjol dapat diterobos, kemudian ditangkap dan diasingkan di Cianjur, untuk selanjutnya dipindahkan ke Minahasa hingga wafat.

Setelah, berakhirnya perang padri, pasukan Belanda bergerak menduduki daerah – daerah di sebelah utara Sumatra Barat. Daerah tersebut antara lain, Mandailing, Angkola, Padang Lawas, Sipirok, dan Tapanuli. Terjadilah pendudukan demi pendudukan disusul dengan pembentukan daerah – daerah keresidenan dan penempatan seorang kontroler di tiap keresidenan sebagi wakil penguasa pemerintahan setempat.

Referensi:

  1. Tim Tentor Nasional. 2015. Target 99% Juara Kelas Plus, Tim Tentor Nasiona. Jakarta: Kawah Media.
  2. Poesponegoro, M.D., dan Notosusanto, N. 2008. Sejarah Nasional Indonesia IV: Kemunculan Penjajahan di Indonesia. Jakarta: Balai Pustaka.
  3. Anshoriy, N. 2008. Bangsa Gagal Mencari Identitas Kebangsaan. Yogyakarta: LKiS Yogyakarta.
*Penulis: Indriyana Rachmawati