Peran Bangsa Indonesia Dalam Lingkungan Negara Negara Asia Tenggara

Seperti yang kita tahu bahwa, Indonesia berperan aktif dalam berbagai organisasi di kawasan Asia Tenggara, contohnya seperti Organisasi ASEAN. Gedung sekretariat ASEAN berada di Jakarta, dari gedung tersebut mulailah sepak terjangnya gerak langkah semua negara - negara kawasan Asia Tenggara dengan organisasi ASEAN dimonitor dan dikoordinasikan sekaligus.

Sekretariat ASEAN didirikan pada tahun 1973, pada saat diadakannya pertemuan menteri luar negeri di Pataya, Thailand. Berikutnya pembentukan panitia, anggota panitia ini terdiri atas para pejabat tinggi ASEAN yang kemudian hasil rumusan panitia tersebut diperbaiki dan disempurnakan dalam sidang menteri luar negeri negara ASEAN di Kuala Lumpur pada tahun 1975.

Selanjutnya, hasil rumusan sidang Kuala Lumpur di bawa ke sidang KTT ASEAN pertama yang dilaksanakan di Bali ( tahun 1976 ) untuk disahkan. Hasil dari sidang KTT ASEAN yang pertama adalah Agreement of the Establishment of the ASEAN Secretariat. Secara resmi sejak tanggal 7 Juli 1976, sekretariat ASEAN berfungsi.

Bukan hanya di organisasi ASEAN saja Bangsa Indonesia berperan aktif, akan tetapi masih banyak lagi ikatan Bangsa Indonesia di berbagai organisasi dunia.

Peran Indonesia di Asia Tenggara di Luar Keanggotaan ASEAN

Bangsa Indonesia mempunyai ikatan regional sebagai salah satu anggota organisasi ASEAN di Asia Tenggara. Indonesia juga merupakan bagian dari masyarakat dunia Internasional. Oleh sebab itu, Indonesia memiliki peran yang besar di lingkungan berbagai negara Asia Tenggara terkadang tidak dibawah bendera suatu organisasi ASEAN.

Peranan Indonesia diluar keanggotaan ASEAN, antara lain sebagai berikut :

1. Sebagai anggota aktif SEAMEO ( South East Asian Minister of Education Organiziation )

SEAMEO ( South East Asian Minister of Education Organiziation ) merpakan suatu organisasi berbagai menteri pendidikan Asia Tenggara. Organisasi tersebut dirintis sebelum didirikannya organisasi ASEAN.

Tujuan dari didirikannya organisasi SEAMEO antara lain untuk meningkatkan kerja sama secara regional kawasan Asia Tenggara dalam bidang pengembangan ilmu pengetahuan, pendidikan, serta kebudayaan.

Pada tahun 1974 organisasi SEAMEO beranggotakan para menteri pendidikan dari dalam negeri kawasan asia tenggara. Masing-masing dari perwakilan negara tersebut adalah Indonesia, Republik Khamer ( sekarang menjadi Kamboja ), Laos, Malaysia, Filipina, Singapura, Thailand, dan Vietnam Selatan ( Sekarang Republik Vietnam).

Selain negara yang berada di kawasan Asia Tenggara, organisasi tersebut juga memiliki tiga anggota dari negara lain antara lain, Prancis, Australia, dan Selandia Baru. Sekretariat dari organisasi SEAMEO berada di Bangkok.

Setelah Republik Vietnam ( Vietnam Selatan ) dikuasai oleh Vietnam Utara ( bersatu menjadi Republik Sosialis Vietnam ), demikian dengan Laos dan Kamboja, ketiga negara tersebut tidak aktif lagi dalam berbagai kegiatan organisasi SEAMEO.

Berbagai kegiatan dari organisasi SEAMEO dilaksanakan melalui berbagai program yang berpusat pada Regional Centres, antara lain sebagai berikut :

  1. Regional Centre for Tropical Biology ( BIOTROP ), berkedudukan di Bogor, Indonesia.
  2. Regional English Language Centre ( RCL ), di Singapura
  3. Regional Centre for Educational Innovation and Technology ( INNOTECH ), berada di Bangkok ( awalnya di Saigon, Vietnam ).
  4. Regional Centre for Educational Science and Mathematics ( RECSAM ) berada di Penang, Malaysia.
  5. Regional Centre for Gradute Study and Reserch in Agri ( SEARCA ), berada di Los Banos, Filipina.

2. Sebagai pasukan perdamaian PBB di Vietnam

Pada saat perang saudara di Vietnam mulai merajalela yang sudah berlangsung selama 30 Tahun. Berdasarkan keputusan persetujuan di Paris, pada tahun 1973 dibentuknya komisi pengontrol perdamaian di bawah PBB yang bernama ICCS ( International Commision of Commission of Control and Supervision ).

Komisi tersebut beranggotakan empat negara, antara lain sebagai berikut : Hongaria, Indonesia, Kanada, dan Polandia. Komisi tersebut dibentuk dengan tujuan untuk mengawasi adanya pelanggaran perdamaian yang dilakukan oleh kedua belah pihak.

Dalam hal ini Indonesia berperan sebagai pengirim pasukan perdamaian, pada saat itu pasukan yang dikirimkan oleh Indonesia bernama Pasukan Garuda IV, V, VI, serta VII. Pasukan Garuda IV dipimpin oleh H. R. Dharsono dengan ketua kontingennya bernama Brigadir Jenderal Wiyogo yang bertugas mulai dari bulan Januari hingga Juli tahun 1973.

Selanjutnya berurutan Pasukan Garuda V, VI, dan VII yang menggantikan pasukan sebelumnya hingga tahun 1975, ketika seluruh wilayah Vietnam dikuasai oleh Vietnam Utara ( Vietkong ).

3. Sebagai Pemrakarsa Penyelesaian Konflik di Kamboja

Terjadinya konflik di Kamboja disebabkan oleh penduduk tentara Vietnam yang berada di Kamboja sejak tahun 1979. Pada tahun 1987 Menteri Luar Negeri Indonesia ( Mochtar Kusumaatmadja ) serta Menteri Luar Negeri Republik Sosialis Vietnam ( Nguyen Co Thach ) menandatangani suatu persetujuan, yang isinya adalah mengenai pertemuan informal antara pihak yang bertikai di Kamboja.

Pertemuan yang bersifat informal tersebut sudah dilaksanakan, dan selanjutnya dikenal dengan nama JIM ( Jakarta Informal Meeting ). JIM I dilaksanakan di Bogor, pada tanggal 25 – 28 Juli 1988, dan JIM II juga dilaksanakan di Bogor, pada tanggal 11 Februari 1989. Pada konflik yang sama di Kamboja, Bangsa Indonesia juga terpilih menjadi wakil dalam pertemuan Paris untuk Kamboja pada bulan Oktober tahun 1991 dengan hasil yang penting dari pertemuan tersebut yakni sebuah perjanjian damai untuk Kamboja.

4. Sebagai Pasukan Perdamaian PBB di Kamboja

Satu tahun setelah diadakannya perjanjian damai untuk Kamboja tercapai, Bangsa Indonesia terpilih kembali sebagai pasukan perdamaian atas nama PBB di Kamboja. Hal tersebut terjadi pada tahun 1992.

Pasukan perdamaian tersebut dikenal dengan nama Pasukan Garuda XII. Selain sebagai pengawas perdamaian, Pasukan Garuda juga memiliki tugas untuk mengawasi berlangsungnya pemilihan umum di Kamboja.

5. Sebagai Penengah Penyelesaian Masalah Moro di Filipina.

Moro adalah sebuah nama masyarakat suku yang telah menempati Pulau Mindanao, yang merupakan wilayah bagian selatan negara Filipina. Sudah cukup lama suku Moro ingin memisahkan diri dari negara Filipina.

Gerakan suku Moro yang berusaha untuk memisahkan diri negar Filipina tersebut dinamakan dengan MNLF ( Moro National Liberation Front ) Gerakan suku Moro tersebut yang menyebabkan persengketaan yang tidak pernah reda.

Pada tahun 1993 Organisasi Konferensi Islam ( OKI ) menunjuk Indonesia sebagai ketua Komite untuk menyelesaikan persengketaan yang terjadi di Filipina. Terjadinya perundingan antara pemerintahan Filipina dan MNLF ( Moro National Liberation Front ) tersebut terjadi antara tahun 1993 – 1996 dan dilaksanakan sebanyak lima kali pertemuan.

Pertemuan tersebut dilaksanakan di Cipanas ( satu kali pertemuan ), dan di Jakarta ( empat kali pertemuan ). Pada perundingan di Jakarta yang keempat dilaksanakan pada tanggal 30 Agustus 1996, merupakan penandatangan Perjanjian Damai dengan para wakil dari pemerintahan Filipina oleh T. Yan dari MNLF diwakili oleh Misuari serta dari Indonesia diwakili oleh Ali Alatas ( Menteri Luar Negeri ).

Referensi :

  1. Mestoko, Sumarsono, 1985. Indonesia dan Hubungan Antarbangsa, cetakan kedua, Jakarta: Penerbit Sinar Harapan.
  2. Gill, Ranjit, 1988. ASEAN ( alih bahas: Sonya Sondakh ), cetakan pertama. Jakarta: PT Gramedia.
*Penulis: Femi Ardiani

Materi lain: