Penjualan Tanah Partikelir

Perubahan dalam bidang pemerintahan yang telah terjadi di dalam masyarakat, terjadi pada masa pemerintahan Daendels dan Raffles, juga berdampak pada kehidupan rakyat. Seperti pada saat Daendels memutuskan agar semua pegawai menerima gaji tetap, tetapi dilarang melakukan kegiatan perdagangan.

Daendels juga melarang penyewaan desa, kecuali untuk memproduksi gula, garam, dan sarang burung. Beberapa penyerahan wajib, seperti kapas dan nila dihapuskan, tetapi mengizinkan penjualan tanah.

Bahkan, Daendels juga memaksa penduduk agar menjual tanah untuk membangun jalan raya sepanjang Pulau Jawa. Tanah – tanah yang dibeli dengan harga murah dari penduduk pribumi, kemudian dijual dengan harga yang cukup tinggi kepada para pemilik modal asing. Hal itu memunculkan sebutan penjualan tanah partikelir.

Tanah partikelir atau particuliere landerijen merupakan tanah yang dimiliki oleh orang – orang swasta belanda dan orang – orang pribumi yang mendapat hadiah tanak karena dianggap berjasa pada orang – orang Belanda. Tanah tersebut sudah ada sejak munculnya VOC, sampai keluarnya larangan yang diberlakukan oleh van der Capellen pada tahun 1817. Tanah tersebut banyak tersebar di daerah, antara lain Cirebon, Karawang, Batavia, Bogor, Banten.

Setelah berpindah tangan, para pemilik tanah partikelir dikenal dengan sebutan tuan tanah. Mereka memiliki kekuasaan yang besar di daerah tanah partikelir. Mereka tidak punya hak atas tanahnya, tetapi merek juga dianggap dapat menguasai orang – orang yang berada di wilayah tanhanya.

Oleh karena itu, penduduk pribumi yang hidup di wilayah tersebut menjadi menderita. Mereka dikenakan berbagai kewajiban, seperti pajak hasil panen, uang sewa rumah, dan kerja paksa guna menggarap tanh partikelir tersebut. Hal itu membuat rakyat seperti berada di tanah asing, padahal, mereka telah tinggal di tanahnya, selama betahun – tahun lamanya.

Baca juga: Undang Undang Agraria 1870

Sistem Pajak Tanah

Sistem pemungutan pajak atau landrent mulai diterapkan pada masa kepemimpinan Thomas S. Raffles, di bawah Inggris. Sistem itu bertujuan untuk menciptakan suatu sistem ekonomi di Jawa yang bebas dari segala unsur paksaan. Pelaksanaan  sistem pajak tanah yang diterapkan, mengandung tiga aspek, yaitu sebagai berikut.

  1. Penyelenggaraan suatu sistem pemerintahan atas dasar – dasar modern
  2. Penanaman tanaman dagang untuk diekspor
  3. Pelaksanaan pemungutan sewa

Sistem tersebut kurang berhasil untuk dilaksanakan. Hal tersebut disebab, antara lain sebagai berikut.

  1. Sebagian besar masyarakat pedesaan belum mengenal sistem ekonomi uang
  2. Adanya kesulitan dalam menentukan jumlah pajak bagi setiap penyewa tanah
  3. Tidak adanya dukungan dari para bupati

Sistem Tanam Paksa

Sistem tanam paksa merupakan aturan yang mengharuskan atau memaksa rakyat pribumi membayar pajak kepada pemerintah kolonial dalam bentuk barang, yaitu tanaman ekspor dagang. Sistem tersebut terkenal dengan nama cultuurstelsel. Ketentuan – ketentuan dalam sistem tersebut, antara lain sebagai berikut.

  1. Tanah yang disediakan untuk tanaman dagang dibebaskan dari pembayaran pajak
  2. Kegagalan panen akan menjadi tanggungan Pemerintah belanda
  3. Tanah yang akan ditanami tidak boleh melebihi seperlima dari tanah pertanian milik penduduk
  4. Tanaman dagang itu hasilnya harus diserahkan kepada Pemerintahan Belanda

Banyak penyimpangan dan penyelewengan yang terjadi dalam pelaksanaan cultuurstelsel, sehingga mengakibatkan kemiskinan dan kelaparan yang melanda diberbagai daerah di Pulau Jawa. Daerah tersebut antara lain Cirebon, Demak, Jepara, Surakarta, dan Grobogan.

Penderitaan penduduk jawa akibat cultuurstelsel itu tidak diketahui oleh warga dan pemerintah di Belanda dan mereka merasa kegiatan itu sangat menguntungkan bagi pihak Belanda dan juga tidak merugikan dari pihak masyarakat pribumi koloni.

Referensi:

Prawoto. 2006. Seri IPS Sejarah SMP Kelas VII. Jakarta: Quadra.

*Penulis: Indriyana Rachmawati