IMPIAN KIARA

Demam dan radang tenggorokan. Kiara menelan butir-butir obat itu. Ada vitamin, antibiotik dan radang tenggorokan. Pahit. Kiara menggelontor dengan air putih yang banyak. Dokter bilang harus banyak minum air putih.

Ia mencoba beristirahat. Rasanya semua sunyi. Di balik selimut hangat, dia merenung. Jalan panjang sudah dilalui….bertahun-tahun lamanya. Mulai dari 15 tahun yang lampau. Bak film hitam putih dia mulai mengingat semuanya. Kenangan…demi kenangan…

***

“Diterima!” Jerit Kiara melonjak kegirangan. Ia meloncat-loncat dengan senangnya saat namanya tertera di koran dengan hasil pengumuman penerimaan Universitas Negeri.  Di sudut kanan tertulis tanggal dan bulan “Juni 2003” Fakultas Kedokteran Hewan, hasil pengumuman SPMB. Jaman dulu namanya Seleksi Penerimaan Mahasiswa Baru.

Kiara tersenyum senang bercampur galau. Namun masalahnya, ini kampus yang berlokasi di luar kota dan dia tidak punya saudara sama sekali di sana. Hanya bermodalkan kecintaan pada hewan dan keinginan memiliki pengalaman baru untuk mencoba hidup mandiri dan jauh dari orang tua untuk sementara waktu. Istilah lainnya ya….mencari jati diri mungkin ya.

“Kamu diterima?” tanya Bang Anton ikut mengintip ke koran yang terpampang lebar. Kopi hitam yang baru diseduhnya tercium wangi. Aromanya semerbak memenuhi ruangan.  Rambut gondrongnya diikat rapi ke belakang. Kakak pertama Kiara yang satu ini memang khas pemusik. Nyentrik dan cuek, walaupun sebenarnya hatinya selembut kapas. Yah, memang bisa menilai orang berdasarkan penampilan? Hati orang siapa yang tahu kan?

Kiara mengangguk-angguk senang. Dipeluknya koran itu dan dicium-ciumnya kegirangan.

“Wah selamat ya Kiara!” Bang Anton ikut sumringah. Dipeluknya adik tercintanya itu. “Abang hubungi mama dulu di kantor. Papa dan Bang Rian juga pasti senang!”

Anton beranjak  ke ruang tamu dan memencet beberapa nomor, sementara Kiara masih termangu dan tidak percaya. Masih diingatnya waktu kecil cita-citanya cukup banyak. Dokter hewan, penulis atau komikus. Dirinya pun ikut mendaftar dan pilihannya hanya dua. Salah satunya ya kedokteran hewan itu. Tidak disangka meleset satu dan diterima di fakultas yang cukup jauh dari kotanya. Surabaya! Masalahnya, Kiara memang senang ke luar kota…tapi belajar di luar kota sendiri? Tidak ada saudara dekat di sana. Kiara kan anak mama….apa-apa sama mama, ke sana sama mama. Hahahah….Mana bisa??

“Halo, tante Uli? Ya ini Anton, tan, mau bicara sama mama. Oke tante, makasih Tan.” Anton menelepon kantor mama. Maklum, jaman dulu kan belum ada telepon genggam. Nggak kayak jaman sekarang yang anak kecil aja udah punya handphone, terus dipakai untuk main game deh. Hehe….

“Ma? Iya ini Anton…. Ya ya….ma…..” Terdengar suara mama di seberang sana. “Anton mau kasih tahu, ini Kiara diterima di Universitas Surabaya. Ada pengumumannya di koran.” Anton menatap Kiara yang balik menatap dengan mata bulatnya yang melebar di balik kacamata berbingkai merah. “Iya aku juga kaget kok Ma. Oke Ma! Ya ya oke Ma, nanti kita ngobrol lagi sepulang Mama kerja. Byeee Maaa…..” Anton meletakkan gagang telephone itu di tempat asalnya.

“Gimana kak?” Kiara menatap Anton dengan tatapan ingin tahu.

“Mama senang tapi bingung. Nggak ada saudara di sana Ra.” Bang Anton mengambil gitar andalannya lalu mulai memainkan sebuah melodi yang indah. Kiara pun terpekur.

“Kiara pingin jadi dokter hewan, bang,” Katanya lagi sambil menghela nafas dalam-dalam.

Bang Anton menghentikan permainan gitarnya dan mengacak-acak rambut Kiara dengan gemas. “Iya, iya…..Siapa sih yang bilang kamu nggak boleh ke sana?” Kiara pun tersenyum senang, tapi dia teringat sesuatu. “Papa gimana? Papa sedang sakit….” Ujarnya lalu muram lagi. “Bukannya kita sedang kesulitan, bang? Apa Kiara ada biaya untuk kuliah di luar kota?”

Bang Anton terdiam. Pertanyaan yang sulit. Sementara dia sendiri masih berjuang dengan kuliahnya. Kalau ada tambahan sebagai guru les musik anak sekolah, hanya cukup untuk biaya kuliah dan membantu sedikit untuk obat ayahnya. Rian pun masih kuliah, adiknya yang satu itu sedang sibuk berjuang dengan praktek kerja lapangannya. Tapi tak mau dikecewakan harapan adiknya.

“Sudah, jangan dipikirkan. Kalau kita bertekad, Kiara, percayalah….pasti ada jalan!” Ujarnya dengan wibawa seorang kakak pertama.

Diingatnya ayahnya selalu bilang, “Anton, kamu kakak pertama. Tugasmu menjaga adik-adik. Kamu harus bertanggung jawab.” Anton pun hanya mengangguk-angguk dengan bersemangat. Itu pesan dari dia masih kecil, sementara Kiara baru lahir dan Rian masih 3 tahun. Anton kecil baru memakai seragam putih dan celana pendek merahnya.

Kiara pun mengangguk-angguk bersemangat. Dia berjalan ke kamar depan, membuka pintu pelan-pelan dan mengintip sedikit ke dalamnya. Ayahnya masih tertidur pulas. Ditutupnya lagi pintu kamar tanpa berbunyi. Yang penting sekarang adalah ayahnya cepat pulih. Dia sangat merindukan ayahnya segar dan sehat seperti dulu kala.

“Kiara, mama senang kamu diterima di kampus Surabaya…” Mama Kiara mengelus-elus kepala anaknya. Dirinya sudah pulang setengah jam yang lalu. Mereka bertiga, Kiara, bang Anton dan mama duduk di ruang tamu.

“Tapi…..” Kata tapinya memberi jeda waktu yang sangat lama, membuat Kiara sedikit was was. Sementara Bang Anton membisu dan hanya mendengarkan. Secangkir kopi pahit sudah diminumnya sedari tadi. Kopi dan gitar….dua hal favoritnya. Dia tidak suka merokok, baginya itu hanya pembakaran uang dan sama sekali tidak memberikan inspirasi dalam membuat musik.

“Tapi mama belum punya uang, Kiara. Kamu kan tahu bulan ini papamu perlu di-rontgen, periksa darah dan ada tambahan obat dari dokter untuk beberapa minggu ini.” Ujar wanita yang hampir seperempat abad itu. Suaranya sedikit tercekat. Dia tahu impian anaknya sangat besar untuk menjadi dokter hewan, tapi apa yang bisa diperbuatnya.

Bang Anton juga masih membisu, otaknya sedang bekerja keras mencari jalan keluar. Tapi rasanya semua buntu. Seperti tidak ada solusi.

Kiara juga terdiam. Matanya berkaca-kaca. Apa impiannya harus hilang? Apa harus dilepaskan kesempatan emas ini?

“Papa nggak perlu obat.” Terdengar suara serak dari balik pintu ruang belakang.

Mereka semua menengok ke belakang. Papa berjalan pelan-pelan dengan tongkat di tangannya. Rambutnya yang dulu selalu disemir, sekarang tampak banyak ubannya. Wajahnya juga terlihat semakin banyak keriput dan lesu. Mukanya pun sedikit pucat, tidak sesegar dulu lagi sebelum sakit.

“Asal Kiara bisa kuliah sesuai jurusan yang diimpikannya, papa rela tidak minum obat.” Dia duduk di samping Kiara, menepuk bahu Kiara dengan lembut sambil tersenyum. Kiara menatap ayahnya terharu, matanya semakin berkaca-kaca.

“Papa….. ini kan obat jantung. Mana boleh papa nggak minum?” Suara mama semakin parau. Iya, mana bisa suaminya tidak minum obat… Kalau nggak minum obat itu sekali dua kali masih bisa ditolong. Tapi kalau tidak minum lagi? Dia sudah berjuang sampai dua tahun ini, untuk kelangsungan hidup suaminya dan pendidikan semua anaknya.

“Papa udah siap. Masa depan Kiara masih panjang…” Ujar papa dengan suara lirih. Matahari menyinari sedikit wajahnya, sedikit pucat tapi matanya masih selalu bersinar penuh semangat. Di masa mudanya, papa memang selalu bersemangat, suka berpetualang dan penuh dengan canda tawa. Banyak yang menyukai papa.

“Udahlah, jangan bicara apa-apa, Pa. Pokoknya papa harus terus minum obat dan kita akan terus berjuang untuk Kiara.” Bang Anton menyela pembicaraan dengan alis berkerut. Pikiran kehilangan ayahnya membuatnya takut. Dia sangat dekat dengan ayahnya.

“Apa Rian perlu tahu masalah ini?” Mama menyandarkan kepalanya dengan lelah. Kepalanya jadi sedikit pusing, dipijit-pijit keningnya sendiri.

“Ya, nanti Anton kasih tahu. Dia harus tahu dong, walaupun sedang di luar kota.” Pemuda gondrong itu memijit bahu mamanya. “Mama udah makan? Anton tadi bikinin martabak mie.”

“Wah enak dong. Mama makan dulu deh. Masalah ini nanti kita pikirkan ya.” Ujar mamanya senang. Anak pertamanya ini memang selalu membantu. Uang kuliahnya dibayar sendiri. Kadang juga kalau ada uang tambahan, dia lebih suka bantu ibunya daripada foya-foya dengan teman-temannya.

“Cuma bisa bikin itu, ma….” Balas Anton sambil tertawa-tawa. Walaupun susah nggak boleh mengeluh, prinsipnya. Hidup ini harus selalu bersyukur.

“Kita harus selalu berdoa ya, Nak. Kiara, Anton, papa juga. Tuhan pasti buka jalan.” Mama tersenyum lalu melangkah ke ruang makan, diikuti papa, bang Anton, lalu Kiara.

----------------------------

“Kamu lepas Ra? Yakin???” Tina bertanya dengan nada tidak percaya.

“Iya Tin….Habis gimana? Orangtuaku lagi ngga ada dana. Minggu depan sudah harus pendaftaran. Ongkos ke Surabaya saja sudah mahal untuk keuangan kami sekarang ini. Belum uang pendaftaran yang beberapa juta itu.” Jawab Kiara muram. Diaduk-aduk teh manis di depannya dengan tidak karuan.

Tina menghela nafas. Dia dan Kiara sudah sekelas sejak bangku kelas 1 SMA. Mereka sama-sama mempunyai impian yang berbeda, akan tetapi saling menyemangati satu sama lain. Kiara ingin jadi dokter hewan, Tina ingin jadi apoteker yang handal. Rangking pun ganti-gantian, tapi mereka berdua selalu ada di 5 besar.

“Pilihannya ya antara aku bekerja dulu selesai sekolah ini, lalu melanjutkan kuliah kalau sudah ada dana. Ayahku sedang sakit, butuh biaya banyak Tin, kalau tidak ayahku bisa tambah parah penyakitnya. Bang Anton penghasilannya tidak seberapa, tapi tahun ini dia selesai. Bang Rian juga masih 2 tahun lagi. Malah lagi keluar biaya banyak untuk praktek kerja lapangannya.” Kiara curhat panjang-lebar. Biarlah, biar lega, pikirnya.

“Semua sedang berjuang Tin. Masak aku egois? Masak demi kuliahku, ayahku makin buruk keadaannya karena tidak minum obat. Obat-obatannya mahal, Tin. Tapi demi ayah, kami semua berjuang agar dia sehat lagi.”

Tina manggut-manggut tanpa bersuara. Dia memeluk Kiara, tahu kalau sahabatnya sebenarnya sangat sedih. Tina juga tidak tahu mau bilang apa? Keluarganya juga hanya orang terbatas. Tina pun belum diterima di universitas negeri jurusan farmasi yang diincarnya. Tapi ayahnya akan berusaha agar Tina diterima di universitas swasta dengan jurusan yang sama. Ayahnya juga sedang berjuang untuk dirinya.

--------------------------------------

Kiara pulang dengan langkah gontai. Udara terik sekali ditambah suasana hatinya yang sedang tidak enak. Didorongnya gerbang pintu rumahnya yang sedikit berderit. Biasanya Bang Anton yang melumasi rodanya dengan minyak sejak papa jatuh sakit.

“Eeeehhhh….cucu nenek kok lemas gitu?” Ujar seorang wanita tua, dia duduk di teras dengan sirih di mulutnya.

“Nenekkkk!” Kiara berseru girang. Setengah berlari dipeluknya neneknya itu. Nenek Fanny hanya tertawa-tawa gembira. Wajahnya masih segar di balik kulitnya yang semakin keriput dan rambutnya yang sudah putih semua karena uban.

“Kejutan kan? Nenek bilang ibumu, jangan ngomong-ngomong kalau nenek datang.” Ujarnya tersenyum. “Tuh nenek bawakan kue bolu bikinan nenek, kesukaanmu.”

Dia lalu masuk dengan sedikit tertatih-tatih, dibantu Kiara. Usianya sudah 76 tahun, jalannya sudah sedikit sulit. Walaupun begitu, nenek Fanny tidak pernah mau diam lama. Ada saja yang dikerjakannya. Entah itu membuat kue, ikut kegiatan lansia di lingkungan desa, ataupun sekedar menjahit. Matanya masih bagus untuk wanita seusianya.

“Ibumu bilang, kamu diterima di Surabaya? Iya nak?” Kata nenek Fanny sambil mengiris-iris bolu buatannya. Tidak pernah tidak enak, rasa bolu buatannya selalu mantap kata semua saudara dan tetangga. Karena itu walaupun nenek Fanny tidak mau berbisnis, banyak juga yang memesan kue buatannya. Terutama menjelang hari raya.

“Iya nek…..” Jawab Kiara setengah mengambang. Gigitan pertamanya terasa sangat lezat, rasa coklat bolunya langsung menyeruak masuk ke mulut.

Nenek menghela nafas, sebenarnya dia sudah tahu masalah yang ada. “Jadi Kiara mau kuliah di sana atau nggak?” Tanyanya lagi. Sebenarnya hanya ingin tahu kesungguhan Kiara.

Kiara menatap neneknya lama sebelum menjawab, “Mau sekali nek. Tapi….”

“Ssssttt…..nggak ada tapi-tapi-an. Jawab aja mau atau nggak?” Sela neneknya sambil menempelkan telunjuk ke mulut Kiara.

“Mau banget Nek!” Jawab Kiara tegas dan lantang.

Nenek Fanny pun tersenyum.

“Kiara, bilang terimakasih sama nenek.” Ibu muncul dari balik pintu dapur sambil membawa setumpuk piring. Rupanya dari tadi ibu sudah pulang dari kantor. “Nenek bilang mau membantu biaya kuliah kamu.”

Kiara membelalakkan matanya, “Beneran nek?” Tanyanya tak percaya. Matanya berbinar-binar senang.

“Iya bener Kiara.” Nenek Fanny mengangguk-anggukkan kepalanya dengan penuh semangat. “Kamu nggak usah khawatir. Yang penting semangat belajarnya dan jangan setengah-setengah ya!”

“Makasih nek!” Pekik Kiara senang. Dia beranjak dari kursi dan memeluk neneknya lagi. Ibu tersenyum terharu.

“Nenek punya simpanan, sebenarnya memang mau nenek kasih ke ibumu sebagai kenangan. Tapi karena nenek dengar cerita ibumu, nenek kasih solusi ini. Apa salahnya dicairkan?” Senyum nenek sambil menepuk-nepuk kepala Kiara. “Nenek sayang semua cucu nenek. Anton, Rian, Kiara….”

“Makasih nek…makasih nek….” Kiara menitikkan air mata, rambut neneknya wangi kemiri.  Harum dan lembut.

***

“Kringgg!” Bunyi dering handphone terdengar.

“Dok? Hari ini praktek? Kucing saya sedang sakit, nggak mau makan.”

“Maaf, saya lagi kurang sehat. Ada partner saya di klinik.”

“Oh begitu dok, baik. Semoga lekas sembuh dok. “

“Iya, iya. Mudah-mudahan besok saya sudah pulih. Terimakasih banyak Pak.”

Kiara menghela nafas. Sudah lebih baik dari kemarin, kemarin demamnya tinggi sekali. Hening dan sunyi. Ibunya sedang pergi, bang Anton dan bang Rian sudah menikah dan tidak tinggal di rumah itu lagi.

Diambilnya album foto di samping tempat tidurnya. Papanya sudah pergi 5 tahun lalu dengan damai. Secara ajaib, papa sempat pulih selama beberapa tahun dan banyak berkarya. Tahun-tahun terakhirnya, malah papa lebih banyak tertawa dan menikmati kebersamaan dengan keluarga dan teman-temannya. Seakan tidak pernah ada penyakit.

Kiara membuka lagi dan dilihatnya foto nenek Fanny tersenyum. Kiara pun ikut tersenyum sambil mengenang neneknya.

“Makasih ya nek….makasih papa….” Kiara berujar lirih, “Makasih Tuhan untuk keluargaku. Mama dan abang-abang. Kalau bukan karena anugerah, mana mungkin Kiara bisa mencapai cita-cita Kiara.”

Kiara pun mengusap-usap album foto itu dan ditaruhnya di laci meja kembali. Efek obat flu mulai terasa, matanya terasa berat sekali.

“Perjuangan Kiara masih panjang….” Gumamnya sambil menarik selimut lagi.

------

*Cerpen ini diajukan sebagai lomba menulis cerpen FORAKIT_Forum Literasi Kita, yang perdana. Penulis adalah anggota Forakit, sebuah forum tempat berkumpulnya para penggiat dan pecinta literasi.