BIOGRAFI PENDIRI EMPAT MADZHAB FIQH TERKEMUKA DI DUNIA

BIOGRAFI PENDIRI EMPAT MADZHAB FIQH TERKEMUKA DI DUNIA

Pernahkah sahabat portal-ilmu mendengar tentang empat madzhab fiqh terbesar di dunia ?  Empat madzhab fiqh ini telah menjadi rujukan kaum muslim diberbagai penjuru dunia untuk menemukan kebenaran sebuah ilmu yang secara langsung diajarkan Nabi. Dibalik berdirinya madzhab fiqh ini tidak lepas dari peran seorang yang memiliki akhlak mulia dan segudang pemikiran cemerlang. Mereka adalah empat Imam besar terkemuka; Imam Abu Hanifah, Imam Malik, Iman Syafi’i dan Imam Hanbali.

IMAM ABU HANIFAH

Abu Hanifah seorang tokoh terkemuka dalam bidang ilmu fiqh adalah seorang non Arab berdarah Persia. Nama lengkapnya adalah Abu Hanifah al-Nu’man Ibn Tabit. Ayahnya bernama Tabit. Harapan sang kakek yang bernama Zauti, kelak Abu Hanifah dapat memberikan kegemilangan pada keluarga.

Kesehariannnya, Abu Hanifah disibukkan dengan kegiatan berdagang. Dibawah kepemimpi nan Khalifah Walid rupanya tidak membuat Abu Hanifah begitu tertarik pada dunia pendidikan. Karena pada masa kepemimpinan Khalifah Walid, menggeluti dunia pendidikan tidak ada jaminan keamanan yang diberikan.

Berbeda dengan masa pemerintahan Sulaiman, negara memberikan jaminan berupa perlindungan bagi siapa saja yang hendak mencari pengetahuan agama. Atas jaminan tersebut, Abu Hanifah mulai mengembangkan pengetahuan mengenai agama.

Abu Hanifah adalah sosok pemuda yang memiliki ketajaman berfikir. Sejak kecil ia sudah mulai mempelajari sastra, fiqh, hadist bahkan filsafat dan mantiq. Abu Hanifah juga dikenal sebagai seorang pemuda yang pandai bergaul. Kawan-kawannya tersebar dari berbagai negeri. Mulai dari Persia, Suriah, dan Mesir.

Metode yang digunakan Abu Hanifah untuk meperdalam pengetahuannya adalah dengan berkelana dari satu sekolah kesekolah lainnya. Ia pernah belajar di sekolah terbesar di Kufa milik Imam Hammad. Abu Hanifah sangat menghormati gurunya, maka tak heran jika ia menjadi murid kesayangan Imam Hammad.

Dalam sejarahnya Kufa memang terkenal sebagai pusat kota dari perantau orang-orang Arab. Dimana di kota ini telah tinggal 1.000 orang lebih dari pengikut Nabi. Tak sedikit orang-orang berbondong-bondong berguru di kota Kufa ini termasuk Abu Hanifah. Pada masa itu Abu Hanifah mengambil kesempatan untuk mempelajari ilmu hadist dari para Muhaddits termasyhur.

Pada tahun 102 H Abu Hanifah mengembangkan ilmu pengetahuannya ke Madinah. Di Madinah ia berguru pada beberapa ahli ilmu terkemuka. Mulai dari Imam Musa al-Kazim dan juga putranya Jafar Sadiq dimana mereka memiliki garis keturunan Nabi. Abu Hanifah juga belajar kepada pemuda yang usianya lebih muda 13 tahun darinya, yaitu Imam Malik.

Pada masa-masa Abu Hanifah menuntut ilmu pencatatan Hadist hanya dengan menggunakan ingatan belaka. Dengan dasar kekhawatiran akan lenyapnya hadist, Abu Hanifah melayangkan surat kepada kalangan terpelajar di Madinah yang isinya sebuah ajakan untuk menyelamatkan hadist dengan cara mencatatnya. Dalam perjalanannya sebagai pembelajar, ia telah selesai mempelajari hadist dari lebih 4.000 orang.

Disamping minat tingginya belajar, Abu Hanifah dikenal sebagai seorang pedagang yang kaya juga baik hati. Dari kesaksian tokoh sufi Syafiq Balkhi, Abu Hanifah sangat ber perikemanusiaan. Suatu ketika dalam perjalanan, ia bertemu seseorang yang terlihat kebingungan dan tidak mau menatap wajah Abu Hanifah. Ketika ditanya, orang tersebut malu karena telah berutang 10.000 dirham kepadanya dan belum mampu untuk membayar. Kemudian Abu Hanifah mengatakan kepada seseorang tersebut untuk tidak terlalu memikirkan hal itu. Abu Hanifah malah meminta maaf  kepada orang tersebut karena telah membuat hatinya takut.

Kedudukan Abu Hanifah sebagai sarjana ahli hukum agama yang sangat dihormati, tidak sedikit tokoh mendatanginya dengan membawa iming-iming hadiah menggiurkan bahkan kedudukan tinggi di lingkungan kerajaan. Para pejabat pemerintahan Umayyah dan Abbasiyah berlomba-lomba untuk mendapatkan hati Imam Abu Hanifah.

Abu Hanifah bukanlah sosok yang begitu saja mudah menerima hadiah ataupun kedudukan tinggi. Tawaran menjadi Qadi Agung kerajaan Abbasiyah ia tolak. Secara halus ia juga menolak permintaan Gubernur Ummayah di Kufa yang memintanya untuk mengunjungi sang Gubernur. Ia mengetahui bahwa Gubernur itu adalah pejabat yang korup akan tetapi ia begitu menghargai undangannya.

Beberapa karyanya kini telah menjadi sumber panutan bagi murid dan pengikutnya yang tersebar di seluruh dunia. Diantara karyanya adalah Fiqh Akbar, Al-Alim wal Mutaam, Musnad Fiqh Akbar dan masih banyak lagi. Menurut Khawarizmi, Abu Hanifah telah menyusun hukum Islam lebih dari 83.000 bagian. 38.000 bagian berisi urusan agama, sedangkan 45.000 bagian berisi urusan dunia.

Abu Hanifah juga telah mendirikan sebuah badan yang terdiri dari kalangan berpendidikan sebagai tempat musyawarah dan menetapkan ajaran Islam dalam tulisan, serta mengalihkan syariat Islam ke dalam bentuk undang-undang.

IMAM MALIK

Pengaruh ajaran Imam Malik sampai sekarang masih terasa. Sebagai pendiri dari Madzhab Fiqh Maliki, ia begitu dihormati para murid-muridnya. Imam Malik juga merupakan orang keturunan Yaman yang berdomisili di Madinah. Keluarganya dikenal sebagai keluarga terhormat dan mempunyai kedudukan sosial cukup tinggi. Selain itu beberapa tokoh dalam keluarganya seperti ayah, kakek, dan pamannya merupakan ahli hadist dan cabang ilmu lainnya.

Imam Malik masyhur sebagai seorang yang shaleh dan tulus hatinya. Kemampuan intelektualnya dapat dibuktikan dari karya-karyanya yang gemilang. Semangat keyakinan dan keberaniannya tak membelokkan arah dalam medan perjuangan menyiarkan ilmu hadist.

Imam Malik lahir pada 93 H. Semasa hidupnya ia mengabdikan dirinya dalam bidang pendidikan. Menurut  sumber tarikh terpercaya, konon muridnya berjumlah lebih dari 1.300 orang. Adapun beberapa para Khalifah yang pernah menjadi muridnya diantaranya adalah Mansur, Hadi Harun, dan Ma’mun. Dari kalangan ahli hukum seperti Abu Hanifah, Imam Syafi’i, Sufyan Suri, dan Qadi Muhammad Yusuf. Sementara dari kalangan ilmuwan seperti Ibn Syahab Zahri dan Yahya bin Saeed Ansari.

Karakteristik ilmu yang diajarkan oleh Imam Malik adalah bernafaskan pada ajaran ketentraman, kedisplinan, dan rasa hormat antara murid dengan guru. Banyak karangan tulisan Imam Malik yang sampai saat ini masih ada. Mulai dari bidang agama, etika dan fiqh Islam terhimpun rapi dalam risalahnya.

Dalam Muwatta salah satu karangannya yang mempunyai kedudukan terhormat diantara himpunan hadist lainnya, memiliki daya pikat tersendiri. Karya tulis ini disusun dengan sangat cermat dan sungguh-sungguh dalam memperhatikan kebenaran perawinya. Melalui proses uji ketahanan rawi sampai dilakukan pembuktian kebenarannya.

Kedudukan Muwatta karya termasyhur Imam Malik dianggap sebagai kitab terpenting setelah Al-Qur’an. Di dalam memuat 10.000 hadits yang kini telah diterjemahkan dalam beberapa bahasa dengan 16 edisi yang berbeda.

IMAM SYAFI’I

Imam Syafi’i mempunyai nama lengkap Abu Abdullah Muhammad bin Idris asy-Syafi’i al-Muththalibi al-Qurasyi. Lahir di Gaza pada 767 M/150H. Ayahnya bernama Idris bin Abbas yang merupakan keturunan Bani Muthalib. Ibunya bernama Fatimah al-Azdiyyah.

Imam Syafi’i tumbuh dengan menyandang status yatim. Ketika usianya mencapai dua tahun, sang ibu membawanya pindah ke Mekah. Sejak kecil ia sudah mulai menghafal kitab suci Al-Qur’an. Kemampuannya dalam hal puisi Arab kuno tidak diragukan lagi. Bahkan ia telah hafal Muwatta’ dalam waktu sembilan malampada usia tiga belas tahun.

Sama halnya dengan dengan Imam Hanifah dan Imam Malik, Imam Syafi’i juga menolak tawaran menjadi Qadi pada masa kepemimpinan Abbasiyah. Ia lebih memilih memanfaatkan waktunya untuk membaca dan ceramah. Imam Syafi’i membagi waktunya sehari-hari secara sistematis dan terstruktur. Adapun buah dari kedisiplinannya lahirlah karya-karya gemilang yang menjadi panutan para umat muslim.

Dalam kalangan ahli hukum, ia dikenal sebagai seorang penimbang yang baik. Ia dapat menjalankan peran sebagai penengah antara peneliti hukum yang beraliran bebas dan ahli hadist. Metode yang digunakan berbeda dengan metode-metode yang digunakan oleh imam-imam besar sebelumnya. Jika Imam Hanafi meletakkan dasar-dasar aturan umum pada Qiyas, maka Imam Syafi’i menggunakan prinsip Ishtibah sebagai dasarnya.

Keahlian Imam Syafi’i dalam menekuni pirinsip-prinsip Fiqh Islam dijuluki sebagai pendiri Usul al-Fiqh. Pengikut ajarannya tersebar di Baghdad dan Cairo. Kemudian pada abad keempat, ajaran Imam Syafi’i terpusat di Mekah dan Madinah.

Banyak karya yang ia wariskan kepada generasi berikutnya. Ar-Risalah adalah satu karangan dalam buku pertamanya tentang ushul fiqh dan kitab Al-Umm. Madzhab ini diriwatkan oleh pengikutnya di Mesir seperti Al Muzani, Al Buwaithi, dan Ar Rabi’ Jizii bin Sulaiman. Kemudian terdapat karangan lainnya yaitu Kitab Al Hujjah. Adapun periwayatnya adalah empat imam di Irak; Ahmad bin Hanbal, Abu Tsaur, Za’farani, dan Al Karabisyi.

IMAM HANBALI

Imam Hanbali lahir pada masa kepemimpinan Abbasiyah pada 1 Rabiulawal 164 H/780 M. Sejak usia 10 tahun ia sudah menyandang gelar Hafidz. Kemudian setelah menyempurnakan hafalannya ia mulai mempelajari ilmu hadist.

Pelajaran pertama mengenai hadist ia dapatkan dari ulama di Baghdad yakni Qadi Abu Yusuf.  Qadi Abu Yusuf ini merupakan murid senior dari Imam Abu Hanifah. Darinya prinsip-prinsip madzhab Hanafi ia pelajari dengan cermat. Di usia mudanya, ia sangat tekun mempelajari fiqh hadist dan leksikografi di Baghdad.

Tidak puas dengan ilmu yang didapatkan selama di Baghdad, Imam Hanbali memperluas pengetahuannya dengan melakukan safar ke berbagai kota seperti Mekah, Madinah, Suriah dan Yaman. Ketika di Mekah ia bertemu dengan ulama besar yang bernama Imam Syafi’i. Imam Hanbali pun tak menyia-nyakan kesempatan emasnya untuk belajar kepada Imam yang sangat masyhur di kota Mekah.

Setelah Imam Syafi’i wafat, Imam Hanbali telah terbiasa secara mandiri merumuskan pendapatnya dalam ilmu fiqh. Ia banyak dikunjungi murid-muridnya dari berbagai penjuru negeri untuk menimba ilmu fiqh dan hadist kepadanya secara langsung. Sejak saat itulah, Imam Hanbali dikenal sebagai pendiri madzhab fiqh Islam keempat.

Sebagai Imam besar, Imam Hanbali mengalami berbagai cobaan yang bertubi-tubi. Kala itu pada masa Khalifah Abbasiyah yang dipimpin oleh Ma’mun ar-Rasyid memaksanya untuk mengikuti doktrin rasionalis Mutazilah. Sementara ajaran Imam Hanbali bertolak belakang dengan doktrin tersebut.

Doktrin Mutazilah adalah suatu pemahaman dimana Al-Qur’an merupakan buku yang diciptakan sehingga tidak bisa diartikan sebagai kalamullah. Garis utamanya adalah suatu upaya untuk memperjuangkan pemikiran rasionalisme. Umat Islam tidak diperbolehkan hanya mengandalkan Al-Qur’an dan As-sunnah saja melainkan juga mengedepankan cara berifikir yang filosofis.

Imam Hanbali dengan tegas menolak doktrin Mutazilah tersebut. Atas penolakan kerasnya, ia dimasukkan dalam sebuah mihna (penjara atau lembaga penyiksaan) dan dicambuk habis-habisan. Sampai telah terjadi pergantian Khalifah selanjutnya, Imam Hanbali masih tetap kokoh atas keyakinannya.

Karya-karya besarnya seperti Musnad, yang merupakan ensiklopedia yang memuat 2.880 sampai 2.900 hadist Nabi. Karya lainnya seperti Kitab us-Salah (buku tentang shalat), Ar-radd-alal-Zindikan (sebuah risalah sangkalan terhadap Mutazilah yang ditulisnya di penjara), dan Kitab us-Sunnah (sebuah kitab yang merinci syahadatnya).

Sumber :

  1. https://kisahmuslim.com/4362-perjalanan-hidup-imam-ahmad-bin-hanbal.html (Diakses pada tanggal 15 April 2020)
  2. https://www.google.com/amp/s/m.republika.co.id/amp/powv9s458 (Diakses pada tanggal 16 April 2020)
  3. K.H Jamil, Ahmad. 2003. Seratus Muslim Terkemuka. Jakarta : Pustaka Firdaus.
*Penulis: Tiara Sari