Biografi Imam Al Ghazali

Tokoh yang dibahas dalam tulisan kali ini merupakan seorang sufi, teolog, dan filsuf terbesar dalam Islam. Namanya Abu Hamid Ibn Muhammad Ibn Muhammad al-Tusi al-Shafi’i al-Ghazali, dikenal dengan Imam Al-Ghazali. Tahun 1058 A.D., dia lahir di Khorasan, tepatnya di desa Ghazalah, pinggir kota Thus, yang terletak di bagian timur laut negara Iran, dekat dengan kota Mashhad, ibu kota wilayah
Khurasan.

Al-Ghazali berasal dari keluarga yang kuat agamanya. Setiap hari ayahnya pekerja sebagai penenun kain dari bulu biri-biri. Hasil tenunannya dibawa ke kota Thus, untuk kemudian dijual. Meskipun, ayahnya tidak memiliki harta yang banyak atau miskin, namun beliau seorang ayah yang jujur dan baik hati.

Ayah Al-Ghazali suka bergaul dengan al-ulama dan para sufi. Pergaulan yang terjadi di antara mereka untuk memetik ilmu agama, berbakti, dan berkhidmat pada mereka. Pergaulan beliau dengan orang-orang yang berilmu dan sering mendengar pelajaran dari ilmu mereka membuat beliaunya merasakan pengaruh positif.

Suatu hari ayah Al-Ghazali berdoa agar dikaruniai seorang anak yang berilmu, cerdik, dan shalih. Kemudian, doanya tersebut dikabulkan oleh Allah SWT. Lalu lahirlah anaknya, anak yang diberi nama Muhammad. Muhammad terus tumbuh menjadi seorang yang shalih sampai pada hari tuanya, dia kemudian menjadi guru dari golongan al-shalihin dan dikenal sebagai al-Imam Abu Hamid al-Ghazali.

Sayangnya, pada usia 6 tahun, ayah Al-Ghazali meninggal dunia. Hal ini menjadikan Al-Ghazali
dan adiknya, Ahmad diasuh oleh mutasawwif, sahabat dari ayahnya. Meskipun diasuh oleh sahabat ayahnya, ayah Al-Ghazali mewasiatkan sedikit harta pada sahabatnya untuk biaya kehidupan anaknya.

Al-Ghazali belajar membaca dan menulis untuk pertama kali, di sahabat ayahnya tersebut. Namun, suatu hari, harta tersebut habis dan sahabat ayahnya meminta Al-Ghazali dan adiknya pergi ke Thus dan belajar madrasah di sana. Di tempat itu mereka bisa menuntut ilmu pengetahuan tanpa harus memikirkan biaya makan.

Al-Ghazali, pada masa mudanya mendapatkan kesempatan untuk menempuh pendidikan di sekolah dengan kurikulum yang bagus. Pendidikan itu dia dapatkan di Nishapur dan Baghdad. Bahkan, Al-Ghazali juga memperoleh penghargaan di bidang filsafat dan agama. Dia juga pernah ditunjuk sebagai profesor di Universitas Nizamiyah yang terletak di Baghdad. Universitas ini bahkan dikenal sebagai institusi pendidikan yang bergengsi pada masa keemasan sejarah Islam.

Seiring berjalannya waktu, beberapa tahun kemudian, Al-Ghazali berhenti dari kehidupan universitas dan keduniaan. Dia mencari kehidupan zuhud dan saat itu menjadi masa transformasi mistis baginya.

Namun pada 14 Jumadil Akhir tahun 505 Hijriah bersamaan dengan 19 Desember 1111 Masehi di
Thus, Al-Ghazali meninggal dunia. Meskipun meninggal di Thus, jenazah Al-Ghazali dikebumikan di tanah kelahirannya. Al-Ghazali meninggal di usia 55 tahun.

Ibnu Jauzi menceritakan kisah tentang kematian Al-Ghazali bahwa pada saat fajar terbit, Al-Ghazali
segera mengambil air wudhu. Kemudian, Al-Ghazali meminta kain kafan, lalu membujurkan kedua kakinya dengan menghadap ke arah kiblat. Lalu, Al-Ghazali menghembuskan nafas terakhirnya.

Riwayat Pendidikan Imam Al-Ghazali

Al-Ghazali memiliki kemampuan untuk mengingat yang kuat dan bijak dalam berhujah. Bahkan beliau memperoleh gelar Hujjat al-Islam berkat kemampuannya tersebut. Al-Ghazali sangat dihormati di dunia Islam yaitu Abbasiyah dan Saljuk yang merupakan pusat kebesaran Islam.

Al-Ghazali mampu menguasai berbagai bidang ilmu pengetahuan, dan sangat cinta pada ilmu pengetahuan. Bahkan, Al-Ghazali mampu meninggalkan kemewahan hidup dan kesenangan hidup demi mencari pengetahuan. Al-Ghazali sebelum memulai rihlah ilmiah, telah belajar karya ahli suf ternama, antara lain al-Junaid dan Abu Yazid al-Busthami.

Al-Ghazali selama 10 tahun mengembara, mengunjungi berbagai tempat suci yang tersebar di daerah
Islam yang luas, antara lain Madinah, Mekkah, Mesir, dan Jerusalem. Al-Ghazali melalui karyanya telah mengharumkan nama ulama di Eropa.

Didikan yang diterima Al-Ghazali sejak kecil, tentang akhlak mulia, menjadikannya benci pada sifat megah, sombong, riya, dan sifat buruk atau tercela yang lain. Al-Ghazali sangat kuat dalam ibadahnya, zuhud, wara dan tidak menyukai kemewahan, kemegahan, kepalsuan, dan kepura-puraan, Al-Ghazali senang mencari sesuatu untuk mendapat ridha Allah SWT.

Al-Ghazali memiliki keahlian dalam bidang ilmu, khususnya fiqih, usul fiqih, dan siyasah syariah. Karena hal itu, Al-Ghazali disebut dengan faqih. Ilmu fiqih dipelajari Al-Ghazali dari al-Syaikh Ahmad bin Muhammad al-Radhakani.

Selain mempelajari ilmu di atas, Al-Ghazali juga mempelajari ilmu nahwu dan ilmu hisab, dan berhasil menghafalkan isi Al-Quran. Al-Ghazali yang gemar dengan ilmu zahir, berbeda dengan adiknya, Ahmad yang gemar ilmu tasawuf.

Tahun 465 Hijriah, Al-Ghazali pergi ke Jurjan dan belajar banyak disana dari guru al-Syaikh Abu Nasr Ismail bin Masadah al-Ismaili. Beliau seorang pelajar yang sangat rajin dan tekun, dengan menulis setiap pelajaran yang dipelajari.

Tahun 473 Hijriah, Al-Ghazali kembali ke Thus, namun pergi lagi ke al-Madrasah an-Nizamiyyah di Kota Naisyabur. Di kota ini dia berguru ke al-Juwaini dan mendapatkan ilmu fikih, ilmu mantik, ilmu debat, ilmu kalam, dan filsafat. Di kota ini ini pula Al-Ghazali menulis kitab-kitab.

Perang Batin Kejiwaan Imam Al-Ghazali

Al-Ghazali bukanlah sosok yang terlena dengan kedudukan dan ketinggian jabatan. Kedudukan dan ketinggian jabatan tidak pernah membuat Al-Ghazali menjadi sosok yang congkak dan cinta akan dunia.  Dalam jiwa Al-Ghazali berkecamuk perang batin yang membuatnya senang untuk menekuni
ilmu-ilmu yang berhubungan dengan kezuhudan. Oleh karena itu, Al-Ghazali menolak akan jabatan tinggi dan memiliki kembali pada ibadah, ikhlas, dan memperbaiki jiwa.

Jalan Sufi Dipilih oleh Al-Ghazali

Jalan sufi yang dipilih oleh Al-Ghazali membuatnya meninggalkan kedudukannya di Baghdad. Dengan
menggunakan jubah sufi, dia menyelinap dan meninggalkan Baghdad. Peristiwa itu terjadi pada 488 Hijriah. Al-Ghazali memutuskan untuk mengasingkan dirinya di Damaskus.

Al-Ghazali memilih untuk menghabiskan waktunya untuk beribadah, tafakur, dan dzikir tanpa henti. Di Damaskus, Al-Ghazali menghabiskan waktunya selama dua tahun dalam kesunyian dan kesendirian.

Al-Ghazali selama berada di Damaskus menelaah sifat-sifat hati melalui tulisan yang dibukukan
dalam Ajaib al-Qalbi, al-Awwal min Rubual-Muhlikat. Adapun salah satu tulisan Al-Ghazali yang berkesan dalam menelaah sifat-sifat hati, yaitu:

“Dalam diri
manusia terhimpun empat sifat ini, yaitu sifat ketuhanan, sifat setan, sifat
buas, dan sifat kebinatangan. Semuanya terkumpul di dalam hati atau jiwa
manusia. Maka seolah-olah yang ada pada kulit manusia itu adalah orang bijak,
anjing, setan, dan babi”

Perjalanan Al-Ghazali ke Yerusalem

Kaum sufi mengaggap bersafar adalah wajib. Perjalanan akan mengantarkan manusia untuk mengetahui cara menahan hawa nafsunya guna mencapai tujuan yang diinginkan. Safar juga mendorong manusia untk mencari arah ke mana harus menghadap, apakah menghadap pada realitas Tuhan atau tawajuh atau mengikuti keinginan atau nafs.

Al-Ghazali pergi ke Yerusalem pada saat berusia 29 tahun. Di Yerusalem, Al-Ghazali berziarah di tempat kelahiran Nabi Isa. Al-Ghazali pergi ke Yerusalem untuk mendapatkan pelajaran kesabaran Nabi Isa pada saat ditimpa cela dari rakyatnya, dicap sebagai anak haram. Nilai-nilai kesabaran dan ketawakalan Nabi Isa mengajarkan Al-Ghazali memposisikan diri sebagai Nabi Isa.

Kemudian, Al-Ghazali merenung bahwa mempelajari kesabaran Nabi Isa belum cukup, sehingga dia
memutuskan untuk berziarah ke makam nabi Ibrahim. Al-Ghazali pergi ke tempat tersebut untuk belajar kehidupan Ibrahim As.

Alasan yang mendorong Al-Ghazali berziarah ke makam nabi Ibrahim karena Ibrahim sebagai khalillullah yang berjuang untuk mencari Tuhan sejatinya. Pencarian Tuhan merupakan usaha untuk meraih makrifat.

Perjalanan Al-Ghazali ke Makkah dan Madinah

Al-Ghazali menuju ke Makkah untuk menjalankan rukun Islam ke lima. Al-Ghazali juga menetap cukup lama di Madinah. Madinah merupakan kota Nabi Muhammad. Pada saat Al-Ghazali sudah selesai dai Kota Haramain, Al-Ghazali diminta penguasa untuk menerima kedudukan sebagai rektor Madrasah Nizamiyah. Kedudukan itu Al-Ghazali terima tanpa pikir panjang dan dengan ikhlas dia menerimanya.

Al-Ghazali mencoba menulis satu kitab ilmiyah yaitu Ihya Ulumuddin, di dalam pengajarannya. Namun, ketika penguasa di bunuh, jabatan rektor Madrasah Nizamiyah dilepaskannya.  Al-Ghazali
kemudian pergi ke Thus. Al-Ghazali memilih untuk mengucilkan diri di sebuah Khanqah.

Meski dalam kesendirian, Al-Ghazali tetap menjadi manusia yang produktif. Al-Ghazali memilih untuk menyelesaikan Ihya Ulumudin. Pada saat menulis karyanya, Al-Ghazali tiba-tiba ditawari kembali untuk menjadi rektor. Namun jabatan itu ditolak oleh Al-Ghazali. Hal ini disebabkan Al-Ghazali menganggap bahwa menulis karya lebih baik dibandingkan dengan menduduki jabatan penting.

Ihya Ulumuddin sebagai karya masterpiece Imam Al-Ghazali

Ihya Ulumuddin jika diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia memiliki arti yaitu menghidupkan
kembali ilmu-ilmu agama. Dalam kitab yang ditulis oleh Al-Ghazali ini, dia mendamaikan tasawuf dengan praktik non-ortodoks. Al-Ghazali mendamaikan dengan islam dan membersihkan mistisme dari intelektualisme. Ihya Ulumuddin dalam kalangan agama merupakan suatu kitab yang komprehensif atau menyeluruh.

Kitab Ihya Ulumuddin memuat tetang unsur fiqih dan tasawuf. Bahkan, ada beberapa kalangan pesantren yang ada di Indonesia yang mempelajari kitab Ihya Ulumuddin untuk menghidupkan sunnah rasul.

Di dalam kitab Ihya Ulumuddin ada aspek-aspek legalitas, antara lain rukun dan syarat ibadah yang sesuai dengan syariat. Bahkan, pada fuquha menilai kitab Ihya Ulumuddin hampir mendekati Al-Quran.

Model Tasawuf Al-Ghazali dan Pengaruhnya terhadap Pemikiran Tasawuf Setelahnya

Al-Ghazali pada abad ke-5 Hijriah, mengubah pemikiran tasawuf yang hanya menekankan pada aspek
batin saja. Tasawuf yang dikembangkan para sufi di abad ke-4 Hijriah, khususnya oleh Manshur al-Hallaj dengan doktri Hulul, tidak sesuai dengan ajaran Al-Quran dan Sunnah.

Akibat adanya doktrin Hulul, al-Hallaj dihukum mati dan ini memberikan gambaran ketajaman konflik antara ulama syari’at atau fiqih dan para sufi. Oleh karena itu, Al-Ghazali berusaha untuk mengembalikan ajaran sufi ke status semula sesuai yang disampaikan oleh sufi abad pertama Hijriah yang memiliki kecenderungan pada sikap zuhud, pembentukan moral, dan pendidikan jiwa.

Konsep tasawuf yang dikenalkan oleh Al-Ghazali belum pernah dikenalkan pada masa sebelumnya.
selain itu, Al-Ghazali memberikan kritikan yang tajam pada berbagai aliran filsafat, pemikiran mu’tazilah dan kepercayaan bathiniyah dengan meletakkan dasar tasawuf yang lebih moderat dan sesuai dengan haris pemikiran teologis Ahl al-Sunnah wa al-Jama’ah. Model tasawuf yang dikembangkan oleh Al-Ghazali ini dikenal dengan tasawuf sunni. Al-Ghazali memilih tasawuf sunni karena didasarkan doktrin ASWAJA atau ahlu as-sunnah wa al-jama’ah.

Kritikan untuk Filsafat Yunani da Sufisme Al-Ghazali

Filsafat yunani dipelajari oleh berbagai ilmuwan berlangsung pada saat Al-Ghazali lahir. Filsafat yunani yang tumbuh pada masa itu menekankan pada pentingnya logika dan akal sehat. Al-Ghazali memandang logika sebagai bentuk pengingkaran pada eksistensi dan kesempurnaan dari Tuhan.

Ada beberapa filsuf yang kala itu tidak mengakui adanya keberadaan Tuhan. Filsuf - filsuf itu juga menganggap tentang tidak adanya hari di mana manusia akan dibangkitkan di hari kiamat. Al-Ghazali kemudian menentang pandangan filsuf tersebut. Pertentangannya berujung pada dialektika yang tertuang dalam buku Tahafut al Falasifa atau kesalahan para filsuf.

Munculnya buku tersebut, membuat ilmu Al-Ghazali sangat dikenal oleh masyarakat luas, khususnya bidang agama, sufisme, dan filsafat. Dalam bidang filsafat Al-Ghazali mengembangkan perpaduan filsafat yunani klasik dan modern, namun tidak menyalahi ajaran Islam.

Al-Ghazali memiliki damak yang besar dalam pemahaman manusia tentang ajaran agama. Al-Ghazali
untuk bidang sufisme dan agama menekankan pada pentingnya menjadikan sufisme untuk menggapai kemurnian ajaran Islam. Bahkan dia menjadikan sufisme terhubung dengan nilai-nilai kebaikan yang terkandung dalam Islam.

Al-Ghazali juga berpendapat kalau jiwa yang bersih akan menuntun manusia mengenali Tuhan secara mendalam. Lebih lanjut, bukan hanya perkembangan dunia Islam saja, Al-Ghazali juga mempengaruhi pada ajaran Yahudi dan Kristen dalam pandangannya. Hal ini berkaitan dengan kembali ke hal yang dasar dalam hidup beragama.

Karya-Karya Imam Al-Ghazali

Kitab-kitab yang ditulis oleh Al-Ghazali sangat banyak dan diperhitungkan. Kitabnya  berjumlah lebih dari 300 buah, namun yang masih kekal sampai saat ini kurang lebih 50 buah saja. Bahasa yang digunakan dalam penulisan kitab, sebagian besar bahasa Arab dan ada juga yang bahasa Parsi.

Kitab-kitab Al-Ghazali yang terkenal di Indonesia, yaitu:

  1. Mi’yaru al-‘llm
  2. Iljam al-Awam an ‘llm al-Kalam
  3. Arba’in fi Ushulu al-Diin
  4. Ara ‘llm al-Dinn
  5. Mahkun Nadhar
  6. Al-Madhnun bi al-Ghair Ahlihi
  7. Al-Muntahal fi ‘llm al-Diin
  8. Munfashil Al-Khilaf fi Ushulu al-Diin
  9. Hujjatu al-Haqq
  10. Al-Mustazhiri
  11. Qistash al-Mustaqim
  12. Faishalu al-Tafriqah Baina al-Islam wa al-Zindiqah
  13. Maqashid Asna fi Ma’ani Asmau al-Husna
  14. Al-Munqidh Min al-Dhalal
  15. Al-Iqtishad fi al-I’tiqad
  16. Tahafut al-Falasifah
  17. Maqashid al-Falasifah
  18. Misykah al-Anwar
  19. Kimiya as-Sa’adah
  20. Mizan al-Amal
  21. Minhaj al-Abidin
  22. Bidayah al-Hidayah
  23. Ar-Risalah al-Ladunniyyah
  24. Jawahir al-Quran
  25. Yaqut al-Ta’wil fi Tafsir al-Tanzil
  26. Adz Dzariah ila Makarim al-Syariah
  27. Syifakh al-Alil fi Qiyas wa Ta’lil
  28. Al-Mankhul
  29. Al-Mustasyfa fi Ilmi al-Ushul
  30. Al-Khulashah al-Mukhtashar
  31. Al-Wajiz
  32. Al-Wasith
  33. Al-Basith
  34. Isbat an-Nadhar
  35. Al-Intishar
  36. Al-Amali
  37. Al-Ma’khadz
  38. Al-Risalah al Qudsiyyah
  39. Al-Ilmu Laduniyyah
  40. Tablis al-Iblis
  41. Nashihat al-Mulk
  42. Al-Mabadi’wa Ghayah
  43. Akhlaq al-Abrar wa Najat min Asrar
  44. Al-Qurbat ila Allah Azza wa Jalla
  45. Al-Ainis fi al-Wahdat
  46. Al-Dar al-Fakhirat fi Kasyfi’Ulum al-Akhirat
  47. Muksyafatu al-Qulub
  48. Futuhu al-‘Ulum
  49. Al-Maarij al-Quds
  50. Ihya Ulumi al-Diin

Kepopuleran karya Al-Ghazali di dunia Islam, menjadikan Al-Ghazali dipandang sebagai penyelamat
tasawuf. Al-Ghazali juga berhasil mengintegrasikannya dengan fiqih, sehingga Al-Ghazali disebut dengan al-hujjat al-Islam.

Pencapaian yang dimiliki oleh Al-Ghazali dapat dikategorikan menjadi tiga, yaitu sebagai berikut. Pertama, Al-Ghazali berperan penting dalam membuat sufisme sebagai rujukan dalam Islam Sunni. Kedua, Al-Ghazali yang mendefinisikan sikap Islam sunni terhadap filsafat. Al-Ghazali memperlihatkan beberapa disiplin filsafat harus ditolak sama sekali, sedangkan yang lainnya, antara lain logika dapat digunakan untuk melengkapi teologi. Ketiga, Al-Ghazali berperan serta dalam kekalahan intelektualisme Ismaliliyyah.

Daftar Pustaka:

  • Al-Ghazali, I. 2016. Kimia Kebahagiaan: The Alchemy of Happiness. Bandung: Mizan.
  • Nafi, M. 2017. Pendidik dalam Konsepsi Imam Al-Ghazali. Yogyakarta: Deepublish.
  • Teman Sejarah. Al-Ghazali, Tokoh Pembaharu Islam, (Online), http://www.hariansejarah.id/2017/09/al-ghazali-tokoh-pembaharu-islam.html, diakses tanggal 16 Maret 2019.
  • Syamhudi, K. 2008. Sejarah Hidup Imam Al-Ghazali. (Online), https://muslim.or.id/59-sejarah-hidup-imam-al-ghazali-1.html, diakses tanggal 16 Maret 2019.
  • Alifah, H. 2015. Biografi, Sejarah, dan Karya Imam Ghazali. (Online), https://satujam.com/biografi-sejarah-dan-karya-imam-ghazali/, diakses tanggal 16 Maret 2019.
  • Sholikhin, M. 2008. Filsafat dan Metafisika dalam Islam: Sebuah Penjelajahan Nalar, Pengalaman Mistik, dan Perjalanan Aliran Manunggaling Kwula-Gusti. Yogyakarta: Narasi.
  • Syafril, M. 2017. Pemikiran Sufistik: Mengenal Biografi Intelektual Imam Al-Ghazali. Jurnal Syahadah, (2), (2): 1-26.
*Penulis: Indriyana Rachmawati