Temui Aku di Gambir
Tak ada yang bisa melukiskan perasaan Sally yang campur aduk saat ini. Senang, deg-degan, cemas, rindu, berbaur jadi satu meletup-letup di dadanya. Betapa tidak, dua jam nanti dia akan bertemu pujaan hatinya, Ben. Di stasiun Gambir tepatnya. Dan sekarang Sally sedang berada di Commuter Line, duduk sembari mendekap tas selempangnya, mata coklatnya berbinar-binar dibias cahaya kuning matahari sore, ah, cantik nian. Commuter terus melaju membawa hati Sally kepada kekasihnya pukul 4 sore ini.
Pertemuan ke-7, tapi rasanya Sally seperti sudah mengenal lama sosok Ben. Ben yang berwajah oriental, Ben yang hangat, Ben yang tak henti-henti membuat Saly tertawa dengan cerita lucunya, Ben yang senyumnya selalu menghiasi hari-hari Sally. Namun Ben juga misterius, ya, Sally heran kenapa tempat dan waktu rendezvous mereka selalu sama, di stasiun Gambir pukul 16.05. Nanti Sally ingin menanyakannya langsung pada Ben. Dan di pertemuan mereka sebelumnya, Ben berkata bahwa ia akan memberikan kejutan untuk Sally.
“Minggu depan aku mau ngasih surprise buat kamu Sal.”
“Hmm.. surprise apa itu?” Sally mengernyitkan dahi.
“Ada deh” Jawab Ben sambil tersenyum misterius.
Sally sudah menunggu di cafe kecil di sudut pintu utara stasiun. Jam menunjukkan pukul 15.45. Kali ini Sally yang duluan sampai. Dipesannya secangkir caramel latte. Sambil menunggu Ben, Sally mengamati orang-orang di Gambir. Orang-orang itu, dengan berbagai macam koper dan tas bawaan, dengan atau tanpa teman perjalanan, hampir semuanya sibuk menatap layar HP masing-masing.
Sally iba bagaimana orang-orang itu lebih antusias pada apa yang ada dalam HP itu daripada bercakap-cakap dengan keluarga atau teman di samping mereka. Sally melihat jam pada HP Nokia polyponic-nya, tepat pukul 16.00. Sally tersenyum, jantungnya semakin berdegup kencang. Sebentar lagi, ah kenapa terasa lama, keluh Sally dalam hati. Sally meneguk latte-nya sambil menatap HP Nokia biru itu. HP itu adalah pemberian Ben di pertemuan ke-5 mereka.
“Untukmu, sudah ada no kontakku di situ.” Tiba-tiba Ben sudah menggenggamkan sebuah HP Nokia ke tangan Sally. Sally semakin takjub dengan lelaki tampan di depannya itu. Sungguh penuh kejutan! Tapi Sally senang bukan main menerima hadiah pemberian Ben.
Sally mulai cemas, sudah pukul 17.00, akan tetapi Ben tak menampakkan batang hidungnya. Biasanya tidak pernah seperti ini, biasanya Ben bahkan datang lebih dulu daripada Sally. Sally menghabiskan latte-nya. Stasiun semakin ramai dengan kedatangan orang-orang, hiruk pikuknya membuat kecemasan Sally makin menjadi.
Sally menelepon Ben, namun tidak diangkat. Kali ketiga bahkan ia hanya mendengar suara operator seluler. Entah kenapa tiba-tiba Sally merasa sangat sedih dan kecewa. Suara Announcer, suara orang-orang di sekitarnya, malah makin membuatnya merasa sepi. Sally beranjak keluar dari café, pandangannya meneliti tiap wajah para calon penumpang, barangkali Ben ada di antara mereka.
Barangkali inilah kejutan Ben, tahu-tahu Ben akan muncul di hadapan Sally sambil menertawakan kebingungannya. Tapi hal itu hanya ada dalam benak Sally. Setelah satu jam lebih Sally berkeliling, hasilnya nihil. Sally menyerah saat jam di stasiun menunjuk angka 10 malam.
Sementara itu, di sebuah ruangan berukuran 4 x 4 meter seorang polisi bertampang garang tengah menginterogasi seorang laki-laki bertubuh kurus. Laki-laki itu tampak pucat, keringat terus bercucuran di pelipisnya.
“Jadi, katakan sebenarnya apa peranmu di ledakan bom Mall S tempo hari, hah?!!“ Sudah tiga kali pertanyaan itu disemprotkan oleh polisi garang pada lelaki kirus di depannya. Namun, yang ditanya hanya menunduk dalam sambil meremas-remas jemarinya. Tak sepatah kata pun keluar dari mulut lelaki itu.
“Kamu pikir siapa kamu hah?! Mau sok berjihad? Mau mati sia-sia, hah?!”
“Ss..saya tidak tahu apa-apa Pak! Itu bukan ransel saya! Sungguh Pak!” Lelaki itu akhirnya mengeluarkan suaranya.
Polisi garang lalu tersenyum sinis lalu mengisyaratkan jari pada kaca besar di belakangnya. Tak lama kemudian, lelaki itu disurungkan ke jeruji besi. Lelaki itu terduduk lemas, kedua matanya menitikkan air.
Jam 5 sore tadi, seharusnya dia sedang melamar gadis yang dicintainya, bukannya diseret paksa ke dalam mobil polisi. Bukan di sini tempatnya menghabiskan malam. Ransel terkutuk itu penyebabnya. Entah bagaiman ada yang sengaja menukar ranselnya dengan ransel berisikan bom aktif yang ia titipkan di pos satpam Mall S karena dia akan mengambil uang di ATM Mall.
Saat ia keluar dari mall, tiba-tiba terdengar ledakan keras “Daarrr!” Sekonyong-konyong orang-orang pun berlarian panik. Lalu terdengar rintihan kesakitan dari satpam mall itu. Tangan dan kakinya terkena serpihan bahan peledak, beruntung ia berhasil diselamatkan oleh rekan sesama satpam.
Lelaki itu meninjukan tangannya ke tembok, hanya tiga hari berselang sejak pertemuannya dengan gadis cantik bermata coklat, ledakan itu terjadi. Dan tiga hari kemudian, dia berada di dalam ruang berjeruji besi ini. Apakah Tuhan ingin mengambil kebahagiaan satu-satunya yang terjadi dalam dua bulan ini dari hidupnya? Lelaki itu hanya bisa meringkuk lelah.
Seminggu berselang sejak Sally tak berhasil bertemu Ben, Sally memutuskan kembali ke Gambir. Dia masih percaya bahwa Ben akan datang menemuinya. Sally duduk di cafe yang biasa ia dan Ben datangi. Pukul 16.05, Sally memesan menu yang juga sama dengan yang ia pesan saat bertemu Ben. Hingga malam tiba, Sally pulang dengan perasaan hampa.
Setibanya di rumah, Sally mendapati paman dan bibinya sedang serius menonton berita hingga membuat Sally ikut-ikutan memperhatikan layar kaca. Berita tentang tertangkapnya pelaku bom Mall S pekan lalu. Deg! Rasanya jantung Sally nyaris copot. Wajah Ben terpampang jelas di layar kaca!
Ben ditetapkan sebagai tersangka bom ransel di Mall S! Sally tercekat sambil mengatupkan kedua tangannya ke mulut. Sally berada di belakang punggung paman dan bibinya sehingga mereka tidak mengetahui keterkejutan Sally. Buru-buru Sally masuk ke dalam kamarnya.
Sally menyurukkan kepalanya ke bantal. Air mata beruraian membasahi pipi tirusnya. Dalam hatinya, ia tidak sepenuhnya percaya berita tentang Ben. Tapi di sisi lain, ia mulai meragukan perasaan Ben padanya.
Ben yang tidak pernah kehabisan cerita lucu dan selalu berhasil membuat Sally terbahak-bahak. Ben yang puitis tapi tidak terkesan gombal. Ben yang senyumnya membayangi hari-hari Sally sejak pertemuan pertama mereka. Ben yang datang di saat yang tepat, setelah Sally berbulan-bulan dirundung duka karena kehilangan kedua orang tuanya dalam sebuah kecelakaan bus. Sally yang merana, lalu Ben datang menghapus satu persatu kesedihannya.
Keesokan harinya, Sally memutuskan ke kantor polisi tempat Ben ditahan. Sally tidak menyangka kantor polisi seramai itu. Ternyata banyak wartawan yang ingin mewawancarai Ben. Sally meringsek masuk di antara kerumunan wartawan dan polisi. Dia berbisik pada salah seorang polisi yang tampak menganggur.
“Pak bisakah saya meminta tolong Bapak untuk mempertemukan saya dengan Ben?” Polisi itu agak kaget lalu mendekat ke Sally.
“Ben tersangka peledakan? Saudari siapa?”
“Saya Sally Pak, sepupu Ben.” Sally berbohong tanpa ragu.
Polisi itu mengerutkan kening, lalu berbisik pada rekan di sebelahnya sambil menunjuk ke arah Sally. Tak berselang lama Sally lalu dipersilahkan masuk ke sebuah ruangan kunjungan tahanan.
Jantung Sally berdegup kencang dari saat ia pertama kali melangkahkan kaki ke sini. Dia menguatkan nyalinya demi rasa penasarannya. Lalu datanglah seorang laki-laki kurus dengan kedua tangan diborgol sambil digandeng oleh seorang petugas.
“Sepuluh menit!” Kata petugas itu. Ben menunduk tak berani memandang wajah Sally di depannya. Sally mengatupkan bibirnya rapat-rapat menahan air matanya agar tidak tumpah. Ben tampak menyedihkan seperti tidak pernah tidur dan makan berhari-hari. Kumis dan cambang tipis mulai menutupi wajah tampannya. Sally mencoba tetap tegar.
“Maafkan aku Sal!” Tiba-tiba Ben membuka suara.
“Kau berhutang banyak penjelasan padaku Ben!” Bibir Sally tergetar saat mengucapkan kalimat itu.
Ben mengangguk.
“Nanti akan kuceritakan semua hal yang ingin kau dengar Sal. Tapi saat ini aku cuma ingin kamu percaya padaku!” Mata mereka bertatapan penuh arti. Ben menggenggam tangan Sally erat. Hal itu membuat Sally tak kuasa menahan air matanya.
“Aku mencintaimu Sal, dan akan selalu mencintaimu.” Sally makin sesenggukan.
“Tunggu aku Sal.”
Lalu Ben beranjak dari duduknya dan digiring petugas, meninggalkan Sally yang memerah matanya.
Selama sepekan berita tentang Ben terus menghiasi layar TV. Dari situ, Sally tahu bahwa Ben berpindah-pindah kos, bahwa Ben yatim piatu sama sepertinya. Bahkan Ben sedari kecil sudah harus menghidupi dirinya sendiri. Mungkin inilah yang mengikat hati mereka satu sama lain, senasib, sama-sama telah kehilangan cinta dari kedua orang tua mereka.
Sally bertekad akan menunggu Ben, apapun yang terjadi. Seminggu sekali Sally pergi ke pusara ayah ibunya, mendoakan mereka, berdiam diri, lalu mengusap nisan mendiang. Sally berusaha tegar seperti Ben. Tegar dalam kesendirian. Karena tak secuilpun dia bercerita pada paman dan bibinya. Dia berusaha menyembunyikan kesedihannya dengan menangis di pusara.
Sally kembali pada rutinitas awalnya, membantu usaha bibinya berjualan brownies. Sorenya dia bertandang ke Gambir, duduk di café sudut, memesan caramel latte pukul 16.05, seminggu dua kali. Sally senang mengenang pertemuan-pertemuannya dengan Ben. Atau barangkali Ben tiba-tiba datang menemuinya dengan senyum khasnya.
Tiga bulan berselang, Sally dikejutkan dengan berita di tv tentang bom bunuh diri di Hotel J oleh seorang laki-laki bertas ransel. Tiga orang dinyatakan tewas dalam ledakan bom itu, pelaku dan dua orang petugas keamanan. Di berita itu polisi masih melakukan penyelidikan apakah ada keterkaitan dengan peristiwa ledakan bom di Mall S sebelumnya.
Sally bergidik ngeri.Sungguh jahat orang ini! Membunuh dirinya sendiri dan orang lain yang tak berdosa. Lalu Sally teringat Ben. Bagaimanakah keadaan Ben sekarang? Apakah Ben ada hubungannya dengan ledakan bom kali ini? Sally berdoa semoga Ben baik-baik saja.
Sally masih sering ke pusara ayah ibunya, masih memesan caramel latte pada pukul 16.05, menunggu Ben di stasiun Gambir. Saat dia akan meninggalkan café, Sally melihat berita di TV bahwa polisi telah menyatakan bahwa pelaku bom bunuh diri Hotel J tempo hari adalah dalang dari ledakan di Mall S.
Pelaku diketahui merupakan anggota sebuah rezim di Afganistan. Pelaku menukar tas ransel Ben dengan ransel bom miliknya saat satpam lengah. Dengan ini, polisi menyatakan bahwa Ben tidak bersalah dan akan melakukan penyelidikan lebih lanjut tentang jaringan pelaku pengeboman. Sally terharu. Ia menangkupkan tangan di dadanya, lega rasanya. Tidak lama lagi dia bisa bertemu dengan Ben!
Seorang laki-laki kurus berjambang berjalan keluar dari sebuah kantor polisi. Hatinya berbunga-bunga, sudah tujuh bulan lamanya hingga akhirnya dia bisa menghirup udara bebas, sebebas langkah kakinya sekarang. Telah tujuh bulan lamanya dia menahan rindu yang menggerogoti dinding hatinya. Dan sekarang dia akan pergi menjemput cintanya. Sally.
Stasiun tampak tak terlalu ramai sore ini. Orang-orang mengantre tiket, menunggu kedatangan kereta, ada juga yang menjemput sanak saudaranya datang ke Jakarta. Di antara orang-orang itu, ada seorang perempuan cantik bermata coklat yang tampak tak asing sedang duduk di café sudut dengan gelas kertas di depannya.
Lalu saat jam dinding di stasiun menunjukkan pukul 16.05, dari pintu masuk café itu, muncullah seorang lelaki tampan berwajah oriental menyunggingkan senyum paling manisnya ke arah perempuan tadi. Seketika jarum jam berhenti bergerak, orang-orang mematung. Kereta terhenti. Hening. Hanya lelaki dan perempuan itu yang saling menatap, saling tersenyum.
“Sally Maharani, maukah kau menghabiskan sisa hidupmu denganku, Benjamin Alfian?”
Sally terdiam. Lalu di depannya muncul screen pertemuan pertamanya dengan Ben di Halte Busway Gambir, saat mereka mengantre Bus TransJakarta, tak sengaja tas selempang Sally tersangkut kancing lengan baju Ben.
Sally mengangguk pelan, lalu tangan mereka saling bergenggaman, keluar dari Stasiun. Lalu seperti slow motion, semua kembali seperti semula. Jarum jam berdetak kembali, orang-orang beraktifitas seperti sedia kala. Dan semburat kemerahan muncul dari langit sore, di atas Stasiun Gambir.
Ditulis pada Jakarta, 5 Juni 2018
*Cerpen ini diajukan sebagai lomba menulis cerpen FORAKIT_Forum Literasi Kita, yang perdana. Penulis adalah anggota Forakit, sebuah forum tempat berkumpulnya para penggiat dan pecinta literasi.
-----
Oleh Ardana Reswari. Seorang wanita cantik yang kini berdomisili di Bojonggede, Kabupaten Bogor, dan memiliki hobi menulis, menonton film, juga memasak
Pertemuan ke-7, tapi rasanya Sally seperti sudah mengenal lama sosok Ben. Ben yang berwajah oriental, Ben yang hangat, Ben yang tak henti-henti membuat Saly tertawa dengan cerita lucunya, Ben yang senyumnya selalu menghiasi hari-hari Sally. Namun Ben juga misterius, ya, Sally heran kenapa tempat dan waktu rendezvous mereka selalu sama, di stasiun Gambir pukul 16.05. Nanti Sally ingin menanyakannya langsung pada Ben. Dan di pertemuan mereka sebelumnya, Ben berkata bahwa ia akan memberikan kejutan untuk Sally.
“Minggu depan aku mau ngasih surprise buat kamu Sal.”
“Hmm.. surprise apa itu?” Sally mengernyitkan dahi.
“Ada deh” Jawab Ben sambil tersenyum misterius.
Sally sudah menunggu di cafe kecil di sudut pintu utara stasiun. Jam menunjukkan pukul 15.45. Kali ini Sally yang duluan sampai. Dipesannya secangkir caramel latte. Sambil menunggu Ben, Sally mengamati orang-orang di Gambir. Orang-orang itu, dengan berbagai macam koper dan tas bawaan, dengan atau tanpa teman perjalanan, hampir semuanya sibuk menatap layar HP masing-masing.
Sally iba bagaimana orang-orang itu lebih antusias pada apa yang ada dalam HP itu daripada bercakap-cakap dengan keluarga atau teman di samping mereka. Sally melihat jam pada HP Nokia polyponic-nya, tepat pukul 16.00. Sally tersenyum, jantungnya semakin berdegup kencang. Sebentar lagi, ah kenapa terasa lama, keluh Sally dalam hati. Sally meneguk latte-nya sambil menatap HP Nokia biru itu. HP itu adalah pemberian Ben di pertemuan ke-5 mereka.
“Untukmu, sudah ada no kontakku di situ.” Tiba-tiba Ben sudah menggenggamkan sebuah HP Nokia ke tangan Sally. Sally semakin takjub dengan lelaki tampan di depannya itu. Sungguh penuh kejutan! Tapi Sally senang bukan main menerima hadiah pemberian Ben.
Sally mulai cemas, sudah pukul 17.00, akan tetapi Ben tak menampakkan batang hidungnya. Biasanya tidak pernah seperti ini, biasanya Ben bahkan datang lebih dulu daripada Sally. Sally menghabiskan latte-nya. Stasiun semakin ramai dengan kedatangan orang-orang, hiruk pikuknya membuat kecemasan Sally makin menjadi.
Sally menelepon Ben, namun tidak diangkat. Kali ketiga bahkan ia hanya mendengar suara operator seluler. Entah kenapa tiba-tiba Sally merasa sangat sedih dan kecewa. Suara Announcer, suara orang-orang di sekitarnya, malah makin membuatnya merasa sepi. Sally beranjak keluar dari café, pandangannya meneliti tiap wajah para calon penumpang, barangkali Ben ada di antara mereka.
Barangkali inilah kejutan Ben, tahu-tahu Ben akan muncul di hadapan Sally sambil menertawakan kebingungannya. Tapi hal itu hanya ada dalam benak Sally. Setelah satu jam lebih Sally berkeliling, hasilnya nihil. Sally menyerah saat jam di stasiun menunjuk angka 10 malam.
Sementara itu, di sebuah ruangan berukuran 4 x 4 meter seorang polisi bertampang garang tengah menginterogasi seorang laki-laki bertubuh kurus. Laki-laki itu tampak pucat, keringat terus bercucuran di pelipisnya.
“Jadi, katakan sebenarnya apa peranmu di ledakan bom Mall S tempo hari, hah?!!“ Sudah tiga kali pertanyaan itu disemprotkan oleh polisi garang pada lelaki kirus di depannya. Namun, yang ditanya hanya menunduk dalam sambil meremas-remas jemarinya. Tak sepatah kata pun keluar dari mulut lelaki itu.
“Kamu pikir siapa kamu hah?! Mau sok berjihad? Mau mati sia-sia, hah?!”
“Ss..saya tidak tahu apa-apa Pak! Itu bukan ransel saya! Sungguh Pak!” Lelaki itu akhirnya mengeluarkan suaranya.
Polisi garang lalu tersenyum sinis lalu mengisyaratkan jari pada kaca besar di belakangnya. Tak lama kemudian, lelaki itu disurungkan ke jeruji besi. Lelaki itu terduduk lemas, kedua matanya menitikkan air.
Jam 5 sore tadi, seharusnya dia sedang melamar gadis yang dicintainya, bukannya diseret paksa ke dalam mobil polisi. Bukan di sini tempatnya menghabiskan malam. Ransel terkutuk itu penyebabnya. Entah bagaiman ada yang sengaja menukar ranselnya dengan ransel berisikan bom aktif yang ia titipkan di pos satpam Mall S karena dia akan mengambil uang di ATM Mall.
Saat ia keluar dari mall, tiba-tiba terdengar ledakan keras “Daarrr!” Sekonyong-konyong orang-orang pun berlarian panik. Lalu terdengar rintihan kesakitan dari satpam mall itu. Tangan dan kakinya terkena serpihan bahan peledak, beruntung ia berhasil diselamatkan oleh rekan sesama satpam.
Lelaki itu meninjukan tangannya ke tembok, hanya tiga hari berselang sejak pertemuannya dengan gadis cantik bermata coklat, ledakan itu terjadi. Dan tiga hari kemudian, dia berada di dalam ruang berjeruji besi ini. Apakah Tuhan ingin mengambil kebahagiaan satu-satunya yang terjadi dalam dua bulan ini dari hidupnya? Lelaki itu hanya bisa meringkuk lelah.
Seminggu berselang sejak Sally tak berhasil bertemu Ben, Sally memutuskan kembali ke Gambir. Dia masih percaya bahwa Ben akan datang menemuinya. Sally duduk di cafe yang biasa ia dan Ben datangi. Pukul 16.05, Sally memesan menu yang juga sama dengan yang ia pesan saat bertemu Ben. Hingga malam tiba, Sally pulang dengan perasaan hampa.
Setibanya di rumah, Sally mendapati paman dan bibinya sedang serius menonton berita hingga membuat Sally ikut-ikutan memperhatikan layar kaca. Berita tentang tertangkapnya pelaku bom Mall S pekan lalu. Deg! Rasanya jantung Sally nyaris copot. Wajah Ben terpampang jelas di layar kaca!
Ben ditetapkan sebagai tersangka bom ransel di Mall S! Sally tercekat sambil mengatupkan kedua tangannya ke mulut. Sally berada di belakang punggung paman dan bibinya sehingga mereka tidak mengetahui keterkejutan Sally. Buru-buru Sally masuk ke dalam kamarnya.
Sally menyurukkan kepalanya ke bantal. Air mata beruraian membasahi pipi tirusnya. Dalam hatinya, ia tidak sepenuhnya percaya berita tentang Ben. Tapi di sisi lain, ia mulai meragukan perasaan Ben padanya.
Ben yang tidak pernah kehabisan cerita lucu dan selalu berhasil membuat Sally terbahak-bahak. Ben yang puitis tapi tidak terkesan gombal. Ben yang senyumnya membayangi hari-hari Sally sejak pertemuan pertama mereka. Ben yang datang di saat yang tepat, setelah Sally berbulan-bulan dirundung duka karena kehilangan kedua orang tuanya dalam sebuah kecelakaan bus. Sally yang merana, lalu Ben datang menghapus satu persatu kesedihannya.
Keesokan harinya, Sally memutuskan ke kantor polisi tempat Ben ditahan. Sally tidak menyangka kantor polisi seramai itu. Ternyata banyak wartawan yang ingin mewawancarai Ben. Sally meringsek masuk di antara kerumunan wartawan dan polisi. Dia berbisik pada salah seorang polisi yang tampak menganggur.
“Pak bisakah saya meminta tolong Bapak untuk mempertemukan saya dengan Ben?” Polisi itu agak kaget lalu mendekat ke Sally.
“Ben tersangka peledakan? Saudari siapa?”
“Saya Sally Pak, sepupu Ben.” Sally berbohong tanpa ragu.
Polisi itu mengerutkan kening, lalu berbisik pada rekan di sebelahnya sambil menunjuk ke arah Sally. Tak berselang lama Sally lalu dipersilahkan masuk ke sebuah ruangan kunjungan tahanan.
Jantung Sally berdegup kencang dari saat ia pertama kali melangkahkan kaki ke sini. Dia menguatkan nyalinya demi rasa penasarannya. Lalu datanglah seorang laki-laki kurus dengan kedua tangan diborgol sambil digandeng oleh seorang petugas.
“Sepuluh menit!” Kata petugas itu. Ben menunduk tak berani memandang wajah Sally di depannya. Sally mengatupkan bibirnya rapat-rapat menahan air matanya agar tidak tumpah. Ben tampak menyedihkan seperti tidak pernah tidur dan makan berhari-hari. Kumis dan cambang tipis mulai menutupi wajah tampannya. Sally mencoba tetap tegar.
“Maafkan aku Sal!” Tiba-tiba Ben membuka suara.
“Kau berhutang banyak penjelasan padaku Ben!” Bibir Sally tergetar saat mengucapkan kalimat itu.
Ben mengangguk.
“Nanti akan kuceritakan semua hal yang ingin kau dengar Sal. Tapi saat ini aku cuma ingin kamu percaya padaku!” Mata mereka bertatapan penuh arti. Ben menggenggam tangan Sally erat. Hal itu membuat Sally tak kuasa menahan air matanya.
“Aku mencintaimu Sal, dan akan selalu mencintaimu.” Sally makin sesenggukan.
“Tunggu aku Sal.”
Lalu Ben beranjak dari duduknya dan digiring petugas, meninggalkan Sally yang memerah matanya.
Selama sepekan berita tentang Ben terus menghiasi layar TV. Dari situ, Sally tahu bahwa Ben berpindah-pindah kos, bahwa Ben yatim piatu sama sepertinya. Bahkan Ben sedari kecil sudah harus menghidupi dirinya sendiri. Mungkin inilah yang mengikat hati mereka satu sama lain, senasib, sama-sama telah kehilangan cinta dari kedua orang tua mereka.
Sally bertekad akan menunggu Ben, apapun yang terjadi. Seminggu sekali Sally pergi ke pusara ayah ibunya, mendoakan mereka, berdiam diri, lalu mengusap nisan mendiang. Sally berusaha tegar seperti Ben. Tegar dalam kesendirian. Karena tak secuilpun dia bercerita pada paman dan bibinya. Dia berusaha menyembunyikan kesedihannya dengan menangis di pusara.
Sally kembali pada rutinitas awalnya, membantu usaha bibinya berjualan brownies. Sorenya dia bertandang ke Gambir, duduk di café sudut, memesan caramel latte pukul 16.05, seminggu dua kali. Sally senang mengenang pertemuan-pertemuannya dengan Ben. Atau barangkali Ben tiba-tiba datang menemuinya dengan senyum khasnya.
Tiga bulan berselang, Sally dikejutkan dengan berita di tv tentang bom bunuh diri di Hotel J oleh seorang laki-laki bertas ransel. Tiga orang dinyatakan tewas dalam ledakan bom itu, pelaku dan dua orang petugas keamanan. Di berita itu polisi masih melakukan penyelidikan apakah ada keterkaitan dengan peristiwa ledakan bom di Mall S sebelumnya.
Sally bergidik ngeri.Sungguh jahat orang ini! Membunuh dirinya sendiri dan orang lain yang tak berdosa. Lalu Sally teringat Ben. Bagaimanakah keadaan Ben sekarang? Apakah Ben ada hubungannya dengan ledakan bom kali ini? Sally berdoa semoga Ben baik-baik saja.
Sally masih sering ke pusara ayah ibunya, masih memesan caramel latte pada pukul 16.05, menunggu Ben di stasiun Gambir. Saat dia akan meninggalkan café, Sally melihat berita di TV bahwa polisi telah menyatakan bahwa pelaku bom bunuh diri Hotel J tempo hari adalah dalang dari ledakan di Mall S.
Pelaku diketahui merupakan anggota sebuah rezim di Afganistan. Pelaku menukar tas ransel Ben dengan ransel bom miliknya saat satpam lengah. Dengan ini, polisi menyatakan bahwa Ben tidak bersalah dan akan melakukan penyelidikan lebih lanjut tentang jaringan pelaku pengeboman. Sally terharu. Ia menangkupkan tangan di dadanya, lega rasanya. Tidak lama lagi dia bisa bertemu dengan Ben!
Seorang laki-laki kurus berjambang berjalan keluar dari sebuah kantor polisi. Hatinya berbunga-bunga, sudah tujuh bulan lamanya hingga akhirnya dia bisa menghirup udara bebas, sebebas langkah kakinya sekarang. Telah tujuh bulan lamanya dia menahan rindu yang menggerogoti dinding hatinya. Dan sekarang dia akan pergi menjemput cintanya. Sally.
Stasiun tampak tak terlalu ramai sore ini. Orang-orang mengantre tiket, menunggu kedatangan kereta, ada juga yang menjemput sanak saudaranya datang ke Jakarta. Di antara orang-orang itu, ada seorang perempuan cantik bermata coklat yang tampak tak asing sedang duduk di café sudut dengan gelas kertas di depannya.
Lalu saat jam dinding di stasiun menunjukkan pukul 16.05, dari pintu masuk café itu, muncullah seorang lelaki tampan berwajah oriental menyunggingkan senyum paling manisnya ke arah perempuan tadi. Seketika jarum jam berhenti bergerak, orang-orang mematung. Kereta terhenti. Hening. Hanya lelaki dan perempuan itu yang saling menatap, saling tersenyum.
“Sally Maharani, maukah kau menghabiskan sisa hidupmu denganku, Benjamin Alfian?”
Sally terdiam. Lalu di depannya muncul screen pertemuan pertamanya dengan Ben di Halte Busway Gambir, saat mereka mengantre Bus TransJakarta, tak sengaja tas selempang Sally tersangkut kancing lengan baju Ben.
Sally mengangguk pelan, lalu tangan mereka saling bergenggaman, keluar dari Stasiun. Lalu seperti slow motion, semua kembali seperti semula. Jarum jam berdetak kembali, orang-orang beraktifitas seperti sedia kala. Dan semburat kemerahan muncul dari langit sore, di atas Stasiun Gambir.
Ditulis pada Jakarta, 5 Juni 2018
***
*Cerpen ini diajukan sebagai lomba menulis cerpen FORAKIT_Forum Literasi Kita, yang perdana. Penulis adalah anggota Forakit, sebuah forum tempat berkumpulnya para penggiat dan pecinta literasi.
-----
Oleh Ardana Reswari. Seorang wanita cantik yang kini berdomisili di Bojonggede, Kabupaten Bogor, dan memiliki hobi menulis, menonton film, juga memasak
Posting Komentar untuk "Temui Aku di Gambir"
Jangan lupa tinggalkan komentar, jika konten ini bermanfaat. Terima kasih.