Teori Marxisme: dari Sejarah, Tokoh hingga Ide Pokok dalam Ekonomi Politik
Ketika kita membahas mengenai sosialisme atau marxisme, maka kita akan sering bersinggungan dengan konsep liberalisme. Bukan karena kedua ideologi ini memiliki banyak kesamaan, melainkan sebaliknya, kedua ideologi ini sungguh bertolak belakang. Bahkan, kemunculan marxisme ini tak lain lantaran penolakannya terhadap ide –ide liberalisme klasik yang disodorkan oleh Adam Smith.
Marxisme sendiri juga lekat dengan sosialisme, karena keduanya sering dianggap memiliki konsep dasar yang serupa. Sekalipun begitu, sosialisme dan marxisme pada dasarnya berbeda. Marxisme adalah ideologi yang didasarkan pada ajaran Karl Marx. Ini sebabnya, ia disebut sebagai Marxisme atau ajaran Marx.
Adapun sosialisme merupakan bentuk gagasan atau pemikiran yang sudah ada jauh sebelum Marx. Ide –ide dalam sosialisme banyak membahas mengenai kebersamaan dan kolektivisme. Sekalipun begitu, memang ada ajaran –ajaran mengenai kebersamaan yang membuat keduanya seolah lekat.
Itu sebabnya, bahasan tentang sosialisme biasanya akan dibagi ke dalam tiga kelompok, yang meliputi :
- sosialisme sebelum Marx;
- sosialisme Marx (Marxisme);
- sosialisme sesudah Marx (Deliarnov, 2005).
Pembahasan mengenai sosialisme, bisa dilakukan melalui berbagai kaca mata, mulai dari falsafah, cita-cita, gerakan, politik, ajaran, ideologi atau pun sistem ekonomi politik. Namun, kali ini fokus kita terletak pada sosialisme dalam kaca mata ekonomi politik.
Dari kaca mata ekonomi politik, sosialisme adalah suatu sistem sosial yang berlandaskan pada prinsip komune atau kebersamaan, dengan sifat distribusi dan pemilikan alat –alat produksi atau means of production secara kolektif. Jadi, karakter paling menonjol dari masyarakat sosialisme ini adalah kebersamaannya.
Dalam bentuk yang paling ekstrem, sosialisme ini bisa berkembang menjadi bentuk komunisme, yang mana berbagai keputusan ekonomi disusun, direncanakan serta sekaligus dikontrol negara.
Sejarah Marxisme
Era industrialisasi memang telah membawa perubahan besar dalam sistem ekonomi dunia, termasuk memunculkan para pemikir –pemikir baru, seperti Karl Marx (1818-1883). Ide –ide Karl Marx sesungguhnya bukanlah ide yang segar dan penuh kebaruan. Apa yang berusaha dimunculkan Karl Marx sesungguhnya adalah ide tentang kebersamaan dalam suatu komune, layaknya pemikiran para sosialis.
Namun, Marx sendiri lebih banyak mengembangkan ide sosialisme dalam bentuk suatu sistem. Inilah yang menyebabkan, ketika berbicara tentang sosialisme dalam bentuk sistem, maka yang seringkali digunakan sebagai rujukan adalah ajaran Karl Marx yang berupa Marxisme.
Jadi, di sini bisa diketahui bahwa perbedaan mendasar antara sosialisme dan Marxisme selain pencetusnya, terletak pada alur pemikirannya. Jika pada sosialisme, alur pemikirannya lebih luas dengan berlandaskan pada konsep kebersamaan. Sedangkan pada Marxisme lebih menekankan pada bagaimana sosialisme itu bisa terwujud dalam suatu sistem yang menyeluruh pada kehidupan masyarakat.
Sejarah Marxisme sendiri didorong oleh perkembangan industrialisasi pasca revolusi industri di Inggris. Pemikiran –pemikiran Karl Marx banyak yang merupakan bentuk bantahan terhadap pemikiran –pemikiran kaum klasik yang berhaluan liberal, yang membangun ekonominya berdasarkan mekanisme pasar.
Melalui ide –idenya, Karl Marx disebut sebagai pelopor utama gerakan sosialisme ilmiah. Awal mula popularitas Marx diawali ketika ia menerbitkan buku pertamanya bersama dengan Friederich Engels, sang pendukung finansial Marx.
Buku tersebut berjudul Communist Manifesto pada 1847. Di dalam buku inilah, Marx mengungkapkan rentetan kritiknya terhadap ide –ide Adam Smith bersama dengan konsep kapitalisme yang diusungnya. Di buku ini pula, diuraikan mengenai pertikaian antar kelas. Marx juga menyebut bahwa negara adalah instrumen penindasan.
Selain buku Communist Manifesto, ide –ide Marx juga banyak dituangkan dalam buku lainnya, yang keseluruhan isinya mengarah pada konsep sosialis. Salah satu karya Marx yang paling populer di antaranya adalah buku berjudul Das Capital yang terbit tahun 1867. Karya-karya Marx inilah yang pada akhirnya menjadi dasar dari kemunculan ideologi marxis atau Marxisme (Deliarnov, 2005: 52).
Sebetulnya, Marx sendiri tidak pernah menyatakan secara eksplisit mengenai ideologi Marxisme. Konsep-konsep pemikirannya juga tidak pernah dirancang menjadi sebuah ideologi atau faham yang disebut Marxisme.
Sebutan Marxisme sebagai faham baru mulai dikembangkan setelah kematian Marx 1883. Pemikiran Marx yang cukup menarik perhatian ini mulai dirangkum sebagai sebuah ideologi baru yang diberi nama Marxis oleh para pemikir Jerman (Ritzer, 2005: 478).
Karena sejarah inilah, konsep marxisme seringkali sulit didefinisikan secara tepat. Yang bisa disimpulkan adalah pada dasarnya, ajaran marxis berusaha menyelaraskan antara realitas, teori dan konsep pemikiran dalam kehidupan masyarakat yang ideal, melalui sistem komune (Albert, Hahnel, 1991: 13).
Perlu diketahui bahwa filosofi Karl Marx banyak mengambil dialektika yang dikembangkan oleh Hegel pada 1818 sebagai landasannya. Apa yang diambil Marx dari Hegel adalah tentang filosofi mengenai idealisme dan sejarah.
Dalam filosofi Hegel tersebut, dijelaskan mengenai bagaimana keterkaitan gejolak sosial terhadap masa depan peradaban. Pemikiran Hegel terkait siklus perubahan sejarah inilah yang kemudian menginspirasi ide-ide Marx. Marx memikirkan sebuah konsep revolusioner dalam membentuk teori masyarakat (Chilcote, 2010: 114).
Cakupan Ideologi Marxisme
Utamanya, kritikan Karl Marx banyak ditujukan pada ide Adam Smith yang mendewakan ekonomi pasar. Dalam upayanya untuk mengkritik ide kapitalisme ini, Marx banyak menggunakan landasan dari berbagai disiplin ilmu. Ia berusaha sebisa mungkin untuk membuktikan bahwa ide –ide kapitalisme sesungguhnya adalah ide yang “busuk dari dalam” dan merupakan cerminan dari sistem yang tidak adil.
Berbagai disiplin ilmu yang digunakan oleh Karl Marx dalam menggugat pemikiran kapitalisme, di antaranya :
- dari segi moral, Marx mengklaim bahwa kapitalisme mewarisi ketidakadilan dari dalam. Ini didasarkan atas ketidakpedulian kapitalisme terhadap kesenjangan sosial yang muncul dalam masyarakat.
- dari segi sosial, Marx menyatakan bahwa kapitalisme adalah sumber konflik antarkelas. Konflik ini bisa muncul antara kaum borjuis dengan kaum proletar, antara tuan tanah dan buruh tani, serta antara kaum kapitalis dengan buruhnya. Hal ini terjadi karena satu pihak bertindak sebagai penindas (oppressor) dan satu pihak lainnya sebagai orang yang tertindas (opressed).
- dari segi ekonomi, Marx memandang kapitalisme sebagai alat para kapitalis yang semata –mata digunakan untuk memperoleh laba sebanyak –banyaknya, sekalipun dengan jalan menekan buruh sekeras mungkin.
Marx yang menggunakan berbagai kaca mata untuk menyajikan ide –idenya inilah yang membuat konsep ‘sosialisme’ Marx menjadi lebih komprehensif. Marx juga beranggapan bahwa pendekatan dengan prosedur deduktif yang digunakannya jauh lebih unggul ketimbang pendekatan pakar ekonomi Klasik.
Marx dan para pengikutnya parcaya bahwa dunia harus dipahami sebagai suatu unit unggul yang terintegrasi. Dengan berlandaskan pada hal ini, Marxisme menawarkan suatu ide atau sistem yang berdasarkan pada metode totalitas, dan bukannya sekedar landasan ekonomi belaka.
Kritik Marxisme terhadap Kapitalisme
Seperti yang sudah dijelaskan di awal, Marxisme muncul sebagai tanggapan atas para pemikir Klasik. Karenanya, ajaran Marxisme pun banyak dilandasi oleh bentuk kritikannya terhadap ajaran kaum Liberal Klasik, terutama terhadap ajaran Adam Smith berupa kapitalisme.
Marx melihat kapitalisme sebagai sebuah sistem yang mempunyai banyak kelemahan. Berikut adalah beberapa kritik Karl Marx terhadap kapitalisme, yang sekaligus menggambarkan bagaimana pola pikir dari ideologi Marx ini.
# Kapitalisme menciptakan kelas – kelas dalam masyarakat
Marx meyakini bahwa terbentuknya kelas-kelas social dalma masyarakat adalah dampak dari kapitalisme. Kapitalisme membentuk kelas-kelas yang didasarkan pada aspek ekonomi. Yang paling kentara adalah munculnya kelas penguasa dan kelas pekerja atau buruh.
# Kapitalisme membuat distribusi kekayaan tidak seimbang
Para penguasa yang ingin mengeruk laba sebanyak mungkin cenderung akan menekan para buruh. Hingga pada akhirnya, para buruh hanya menerima upah yang hanya bisa untuk sekedar bertahan hidup.
Marx mendasari pemikirannya ini dari teori Ricardo yang mengusulkan tingkat upah yang rendah. Ricardo menyatakan bahwa dalam subsistem kapitalisme ini, tingkat upah yang sedemikian rendah ditentukan dengan nilai yang hanya bisa untuk sekedar bertahan hidup.
Bentuk yang disebut “iron wage” atau upah besi ini besarannya bahkan hanya setara dengan biaya bahan bakar agar mesin bisa bekerja, atau sebesar “biaya pakan ternak”. Hal ini berarti bahwa balas jasa yang diberikan pada pemilik modal atau kapitalis jauh lebih besar daripada balas jasa untuk para pemilik tenaga kerja atau buruh.
Pemilik modal akan semakin kuat dan kaya, sementara pemilik tenaga kerja akan semakin miskin dan lemah. Kapitalisme cenderung mendistribusikan kekayaan secara tidak merata. Hingga pada akhirnya, sistem ini pun memunculkan kekuasaan yang terstratigikasi (Deliarnov, 2006 : 42-43).
# Kapitalisme memungkinkan kelas penguasa melakukan eksploitasi
Dalam kapitalisme yang berorientasi pada ekonomi, para kelas penguasa atau kapitalis akan berusaha untuk mencari laba sebesar –besarnya. Semakin besar upaya para kapitalis mencari laba, maka semakin keraslah tekanan yang diberikan pada para buruh.
Artinya, konsep ini memungkinkan kelas penguasa mengeksploitasi para buruh. Dengan kata lain, Menurut Marx, kapitalisme adalah bentuk eksploitasi pada buruh.
# Kapitalisme memicu konflik antar kelas
Marx meyakini bahwa negara kapitalisme akan berpihak pada sisi penguasa. Kenapa begitu? Ini lantaran kelas yang berkuasa secara ekonomi cenderung berpotensi untuk mendapatkan kekuasaan politik. Ini karena uang atau kekayaan dianggap sebagai salah satu bentuk kekuasaan.
Negara kapitalis yang sudah “busuk dari dalam” ini memiliki sistem yang tidak adil. Kapitalisme memicu terjadinya konflik antarkelas. Satu sisi berperan sebagai oppressor (penindas) dan di sisi lainnya terdapat oppressed (orang yang tertindas). Ini terjadi lantaran para kapitalis yang akan mengeruk laba sebanyak mungkin dengan menekan buruh (Deliarnov, 2006: 41-42).
# Kapitalisme menjadikan buruh mengalami alienates
Sistem yang diciptakan kapitalisme membuat para buruh mengalami keterasingan atau alienates. Para buruh yang dijadikan sebagai sarana atau alat untuk memenuhi kebutuhan para kapitalis, akan cenderung dieksploitasi agar bisa menyelesaikan pekerjaannya dengan secepat dan sebaik mungkin.
Pada akhirnya, buruh –buruh hanya akan berfokus pada pekerjaannya saja dan minim interaksi dengan kehidupan sosial atau dengan manusia lainnya. Hal ini memaksa buruh terisolasi dan tidak dapat bertumbuh. Dengan kata lain, buruh dialienasi dari sifat dasarnya sebagai manusia (Ritzer, Goodman, 2011: 36).
# Kapitalisme bersifat Self Destructive
Marx menolak anggapan kaum Klasik yang menyatakan bahwa kapitalisme adalah sistem yang dianggap self-sustained (pengembang diri). Dalam kaca mata Marxisme, kapitalisme lebih disebut sebagai self-destructive (perusak diri).
Kondisi ini terjadi lantaran adanya tekanan para kapitalis terhadap para buruh yang begitu besar. Hal ini membuat Karl Marx yakin, dan bahkan menyatakan prediksinya bahwa akan terjadi suatu revolusi dari para buruh.
Demi mengeruk laba sebanyak mungkin, para kapitalis akan semakin menekan buruh. Buruh yang semakin tertekan oleh para kapitalis ini tentu tidak akan tinggal diam. Akan terjadi perlawanan sehingga pada akhirnya, sistem ini akan hancur dengan sendirinya (Deliarnov, 2005: 42).
Ide –Ide Karl Marx
Kelebihan Marxisme adalah pada sistem yang ditawarkannya, yang serba mancakup. Artinya, ide-ide Karl Marx memiliki pembahasan yang komprehensif dan memiliki interkonksitas pada semua jenis lembaga sosial yang ada. Marxisme juga menunjukkan adanya interkoneksitas antara politik dan ekonomi.
Ini sebabnya, ajaran Marxisme dianggap sebagai ajaran yang paling komprehensif dalam konsep ekonomi politik. Konsep yang serba mencakup ini membuat Marx yakin bahwa ajarannya jauh lebih baik ketimbang pendekatan deduktif dari ekonomi politik klasik.
# Materialisme Dialektik
Marx melakukan analisis ekonomi politik dengan menggabungkan metode dialektik dan materialisme. Oleh Engels, hal ini disebut sebagai materialisme dialektik atau materialisme historikal. Padangan bahwa dunia merupakan satu unit tunggal yang terintegrasi membuat pendekatan yang dilakukan Marx mampu mencakup segala hal dengan metode totalitas.
Konsepsi materialisme Dialektik Marx ini mengambil dari pemikiran Hegel terkait siklus perubahan sejarah. Marx menyatakan akan adanya sebuah konsep revolusioner dalam membentuk teori masyarakat melalui perjuangan para buruh dalam menjatuhkan para penguasa, dan pada akhirnya membentuk semua masyarakat tanpa kelas.
Meski begitu, Marx menolak idealisme Hegel yang menyatakan bahwa perubahan ini dipengaruhi paling besar oleh ide-ide. Menurut Marx, yang lebih menentukan adalah kekuatan materialisme.
# Materialistik
Konsepsi materialistik Marx ini adalah bentuk subordinasi politik serta keputusan –keputusan otoritas publik yang berada di bawah kekuatan yang telah melekat, yang beroperasi dalam masyarakat. Sederhananya, ide materialistik adalah yang menentukan segala-galanya, baik dalam hal politik, budaya, sosial, moral, falsafah, juga ideologi, adalah ‘ekonomi’ yakni materi.
Lebih sederhananya lagi, materi adalah pusat kehidupan. Materi mengondisikan proses kehidupan politik, sosial, juga intelektual secara umum. Jadi, ketika kita berbicara tentang moda produksi kehidupan, maka kita akan fokus pada ekonomi. Ekonomi inilah yang kemudian mampu mempengaruhi berbagai moda kehidupan lain, dari berbagai aspek. Hal ini juga termasuk, ekonomi mempengaruhi politik.
# Politik adalah media untuk menjalankan kekuasaan dan kewenangan
Politik, kekuasaan dan materi pada dasarnya berhubungan. Tapi, yang paling kuat pengaruhnya adalah materi. Adapun politik menurut Marx hanyalah alat atau media yang digunakan penguasa sebagai media untuk menjalankan dan melegitimasi kontrolnya.
Sedangkan peran menurut Marx adalah untuk menjalankan kekuasaan dan kewenangan, yang dipengaruhi oleh materi. Negara harus berperan untuk mempersiapkan kondisi –kondisi politik dan penekanan-penekanan yang penting untuk memelihara setiap moda produksi (Staniland, 1985).
Dalam mengaitkan antara politik ke ekonomi pasar, Marx meyakini adanya struktur dominasi dalam setiap organisasi ekonomi. Politik bagi Marx hanya merupakan jembatan bagi kelas berkuasa untuk melegitimasi kontrolnya guna memperoleh materi (Deliarnov, 2005: 44).
# Penghapusan Negara
Menurut Marx, expantion of wealth sama dengan expantion of power. Hal ini membuat Marx yakin bahwa kekayaan tidak hanya digunakan dalam konsep power to, melainkan juga power over. Kekuasaan yang dimiliki kaum kapitalis akan digunakan sebanyak-banyaknya untuk menggencet kaum buruh, sehingga hal ini harus dihapuskan.
Negara hanya merupakan ciptaan masyarakat sipil yang digunakan semata-mata untuk melindungi kepentingan kelas-kelas penguasa. Hal ini mempengaruhi terjadinya benturan kepentingan antarkelas yang mendorong adanya konflik antar kelas atau pertikaian dalam Negara. Marx mengusulkan bahwa nantinya negara maupun kelas penguasa harus dihapuskan (Chilcote, 2010: 148).
# Kepemilikan bersama digantikan distribusi kolektif
Kapitalisme harus segera digantikan dengan sebuah sistem sosial yang berlandaskan pada kepemilikan bersama dan distribusi secara kolektif (Deliarnov, 2005: 42). Dalam perspektif Marxis, perubahan ekonomi mampu mentransformasi suprastruktur ideologi. Tindakan manusia bergantung pada perubahan dalam struktur ekonomi (Chilcote, 2010: 161).
# Pemimpin dari kelas proletar untuk membentuk negara otoritarian
Analisis Marx menyebutkan bahwa keberadaan kelas hanya terikat pada fase-fase sejarah tertentu dalam bentuk perkembangan produksi. Untuk itu, diperlukan pembentukan negara yang otoritarian demi memastikan revolusi sejarah berlangsung dengan tepat.
Untuk membentuk negara yang otoritarian, diperlukan pemimpin dari kelas proletar atau buruh. Guna membawa pada kediktaktoran proletariat inilah diperlukan perjuangan kelas. Dengan sendirinya, kediktaktoran ini akan menjadi transisi menuju penghapusan seluruh kelas.
Keberadaan kelas inilah yang harus ditiadakan menurut Marx. Pada akhirnya, negara juga akan dihapuskan. Dunia akan menjadi unit tunggal yang tanpa kelas dan tanpa negara.
# Penghapusan kelas dalam masyarakat
Keadaan sosial akan menuju pada perwujudan masyarakat tanpa kelas, di mana hak milik pribadi terhadap properti ditiadakan. Bagi Marx, keberadaan hak milik properti ditunjukan dari adanya kepemilikan barang dan kesempatan pendapatan. Padahal, hal ini merupakan ciri dari adanya kelas dalam masyarakat, sehingga hal ini harus dihapuskan (Chilcote, 2010: 171).
Perkembangan Marxisme
Marx setelah era Karl Marx masih terus mengalami perkembangan. Banyak pemikir lain yang berusaha mengembangkan ide –ide Marxisme ini dengan dibumbui aneka ide lain demi menyempurkan sistem yang telah ditawarkan oleh Karl Marx. Salah satunya, ada Lenin.
Dari pemikiran Marx dan Engels, Lenin mengemukakan teori Negara yang diungkapkannya dalam buku State and Revolution pada 1932. Lenin berpendapat bahwa negara pada masa tersebut adalah bentuk perwujudan antagonisme kelas yang tidak dapat dipersatukan atau irreconcibility.
Oleh karena itu, kekuasaan negara harus dihapuskan dengan revolusi yang kasar. Suatu bentuk upaya melalui kompromi dan solusi-solusi reformis dianggap tidak mampu memecahkan antagonisme-antagonisme kelas ini (Chilcote, 2010: 259).
Kaum proletar bertugas untuk melaksanakan perjuangan melawan negara beserta instrument-instrumen kekuasaannya. Kekuasaan selanjutnya dipegang oleh kaum proletar. Cara-cara produksi lantas ditransformasikan dari kepemilikan pribadi menjadi kepemilikan negara.
Transisi kekuasaan kapitalisme inilah yang kemudian akan memunculkan adanya bentuk pemerintahan proletariat atau kediktaktoran proletariat. Demokrasi borjuis berubah menjadi demokrasi proletariat. Sehingga pada intinya, reformasi bertujuan untuk membentuk kesejahteraan bagi kaum proletar.
Fungsi-fungsi negara pada akhirnya akan kembali diserahkan kepada masyarakat, hingga tidak ada lagi kebutuhan akan kekuasaan semacam ini. Setelah perkembangan produksi mencapai tataran tertinggi, maka keberadaan kelas pun tidak diperlukan lagi. Begitu pula dengan negara juga harus dihapuskan.
Fungsi negara akan digantikan dengan penguasaan oleh seluruh masyarakat. Hasilnya, orang akan bekerja secara sukarela sesuai kemampuan dan menerima sesuai kebutuhan mereka. Di sinilah, sosialisme tercipta (Chilcote, 2010: 260).
Ktitik terhadap Marxisme
Layaknya Marxisme yang melontarkan kritiknya terhadap kaum Liberal Klasik, rupanya Marxisme pun tidak lepas dari kritik. Tidak sedikit pemikir yang menyatakan bahwa ajaran-ajaran Marx bukanlah ajaran yang ideal, dan bahkan memiliki banyak kekurangan. Beberapa kritik yang ditujukan terhadap Marxisme, sebagai berikut :
# Terkesan Dogmatis
Setelah era Karl Marx, muncul para pemikir yang mengusung teori kritis. Teori kritis ini menjadi salah satu yang mengkritisi Marxisme. Menurut teori kritis, secara umum Marxisme memiliki kelemahan karena ideologi ini semata –mata menjiplak analisa Marx secara mentah-mentah. Kata-kata Karl Marx dijadikan sebagai ideologi dan berusaha diterapkan begitu saja pada masyarakat modern.
Penerapan secara langsung inilah yang membuat Marxis sebagai suatu ideologi lebih terkesan dogmatis daripada ilmiah. Analisa yang ditawarkan teori Kritis sendiri adalah rekonseptualisasi terhadap dasar teori Karl Marx, yaitu pembebasan manusia dari berbagai belenggu penindasan.
# Ide revolusi sosial terjadi otomatis tidak rasional
Menurut Marx, kapitalisme yang sudah “busuk dari dalam” akan secara otomatis hancur oleh revolusi sosial. Revolusi sosial yang dilakukan oleh buruh ini akan terjadi secara otomatis, sehingga pada akhirnya akan menggantikan tatanan kapitalisme dengan sendirinya.
Ide ini dianggap oleh para revisionis sebagai kelemahan Marxisme, dan terkesan berlebihan atau tidak rasional. Ide bahwa kehancuran kapitalisme bisa berlangsung secara otomatis tidaklah rasional.
Apalagi, bila merujuk pada pandangan bahwa sosialisme hanya akan muncul ketika kapitalisme runtuh, maka ini berarti selama kapitalisme mampu mempertahankan surplus value-nya, revolusi sosial ini secara otomatis tidak akan terjadi.
Diuraikan oleh Bernstein, selama negara –negara yang mendukung kapitalisme masih sukses mempertahankan berbagai kebijakan anti monopoli dan pasar bebas, maka kapitalisme tidak sedang menuju kehancuran. Sederhananya, mengharapkan revolusi sosial dapat terjadi secara otomatis adalah hal yang berlebihan atau bahkan tidak rasional.
# Terlalu mendewakan Materialisme dan mengabaikan ide
Konsep materialisme Marx terlalu mendewakan materi sebagai bagian dari aspek ekonomi. Bahkan, Marx mengabaikan pentingnya ide atau gagasan serta kontribusinya terhadap sejarah. Marx menyataka bahwa realita adalah materi dan revolusi sosial bisa terjadi utamanya karena aspek materi ini.
Materi atau ekonomi adalah satu-satunya hal yang penting dan menjadi patokan hidup manusia, bukan pikiran atau gagasan. Sikap Marx yang meletakkan setiap kepentingan hanya sebagai bagian dari kepentingan ekonomis ini dianggap berlebihan dan tidak logis.
Marx meyakini, secara langsung maupun tidak langsung, kekuasaan politik adalah alat untuk kepentingan fungsi kekuasaan ekonomis saja. Begitu pula dalam kondisi sosial dan budaya, semua berlandaskan pada perspektif yang materialistik.
Dalam perspektifnya, Marx menyatakan bahwa kekuatan sejarah dan revolusi masyarakat tidak ditentukan oleh ide atau gagasan, dan bukan pula cita-cita akan kebebasan. Absennya ide atau gagasan, dan sikap terlalu mendewakan materi inilah yang membuat ajaran Marx banyak dikecam.
Referensi :
- Albert, Micheal, Robin Hahnel. Marxist and Socialist Theory. Ho Chin Minh: South End Press.
- Deliarnov. 2006. Ekonomi Politik. Jakarta: Erlangga.
- Porosilmu. Tt. Menelusuri Marxisme melalui Pemikiran Karl Marx. diakses dari http://www.porosilmu.com/2014/12/menelursuri-marxisme-melalui-pemikiran.html
- Ritzer, George dan Douglas J. Goodman. 2004. Teori Marxis dan Berbagai Ragam Teori Neo-Marxian. Bantul: Kreasi Wacana Offset.
- Ritzer, George. 2005. Encyclopedia of Social Theory. New Delhi: Sage Publication.
Materi lain: