Aku Dia Dan Kapal Tua - Chapter 3
Hujan sudah berhenti. Awan hitam berganti putih, cerah. Terlukis di langit kaki barat. Oranye pekat menyejukkan mata memandangnya. Sedari tadi aku dan orang tua yang bernama Pak Redian, tengah duduk di atas batu karang tepi laut.
Mendengar cerita putrinya, aku ikut terenyuh. Betapa beratnya beban yang menimpa Pak Redian, sungguh kisah tragis untuk kematian putrinya.
"Jadi di sini Pak, saat terakhir melihat putri bapak ?!" tanyaku tutur
Jawabnya mengangguk alon, \\. Wajah sepatnya tak kunjung berubah.
Kali ini aku harus berhati-hati bicara, jangan sampai membuat orang tua penghuni pulau ini bertambah sedih. Ya, aku harus memberikan aspirasi seperti ia menjadikan ku kembali semangat menjalani hidup.
"Pak, boleh aku sedikit cerita tentang tujuanku berkelana." tawarku menoleh, tersenyum
Lagi-lagi ia hanya mengangguk, isyarat memperbolehkan.
"Lima tahun lalu, aku pernah tertimpa masalah dalam kesengaraan hidup. Saat itu hampir setiap waktu aku bimbang, resah, dan merasa terkekang. Sungguh, putus asa bunuh diri sudah ada di depan mata."
Aku menghela napas. Suaraku mulai tercekat. Pak Redian menatapku antusias. Deru angin yang terus mengebas. Ombak-ombak tiada henti menerkam cadas. Jantungku berdebar, tidak kuasa untuk melanjutkan cerita. Sesekali tanganku mencekat air mata. Terdapat rasa kesal dan benci.
Suaraku terbata-bata melanjutkan cerita
"Semua orang di kampung halamanku membenci keluargaku, mereka selalu berbuat jahat kepada aku dan ibu. Entah, aku tidak mengerti maksud mereka begitu, tapi dengan suara garangnya mereka mengatakan bahwa karena ayahku lah yang membuatnya bersikap kejam pada aku dan ibu."
"Cukup Tamrin!"
Tamrin, itu namaku. Aku mendesis. Mengapa bisa tahu namaku orang tua ini ?! Dari mana dia bisa tahu ?! Atau jangan-jangan hanya kebetulan saja ?!. Kepalaku sedikit tersentak, kaget mendengar ucapannya. Aku menelan ludah, menolehnya nanar.
"Nak, itu adalah aku..."
Semakin heran perasaanku menyimpulkannya. Pengakuan apa yang dimaksud pak Redian bahwa itu adalah dia ?! Dahiku terlipat, memasang wajah penuh tanda tanya.
"Cukup nak, kamu tidak usah menatapku tajam. Biar ku jelaskan segala kebingungan yang teselip di pikiranmu," pak Redian mengadap ke arahku, akupun membenarkan posisi duduk, saling berhadapan. Pak Redian menarik napas, memulai cerita.
Lima menit berlalu, akhirnya jelas semua tentang perjalanan yang terjadi. Ya, pak Redian adalah ayahku. Ia mengenaliku sehabis meraih dan melihat tanda lahir bintang di bahu tanganku. Setelah sebelumnya mengatakan, "Tamrin, syukurlah tuhan pertemukan kita di sini. Tiada kebahagian terbesar bagi orang tua laki-laki, kalau bukan bertemu anaknya.
Terserah kamu mau panggil aku dengan sebutan apa saja, karena masa lalu yang membuatmu kini mencari kehidupan baru, lepas, kusut dan robek akibat karena perbuatanku dulu. Maafkan aku Nak. Aku janji tidak akan membuatmu sengsara lagi. Sekarang aku akan menemanimu kemanapun perjalanmu .Biarkan tubuh yang penuh dosa ini menghamba mencari ampunan putranya. Kamu pantas hukum aku nak, karena dulu tega berkhianat meninggalkan kamu, ibu dan semua warga, hanya demi selamat dari amukan massa."
"Ayah?"
Ucapan yang terlontar bernada getir. Aku memanggilnya ayah. Ia menggeleng, air mata terus mengalir, tertunduk.
"Ayah, inilah aku anakmu yah. Janganlah bersedih, kita sudah bertemu lagi."
"Nak, aku sangat rindu padamu, kepada ibumu, dan kepada semua orang yang pernah aku sakiti. Kiranya aku dapat bertemu mereka, cepat atau lambat aku akan menekuk lutut di hadapannya, bersujud meminta maap atas kesalahanku."
Perlahan tangannya menghapus air mata, orang tua yang kupanggil ayah berdiri, merangkul tanganku, membawa pergi.
"Sini Nak, kamu tinggal bersamaku, jangan curiga dan ragu, aku mengajakmu demi kebaikan kamu."
Langkah gontai, perlahan meninggalkan pulau. Sejauh mata memandang terlihat semak belukar berwarna keemasan, mengkilau. Aku terpacu, mataku menatap tajam. Alih-alih teringat nasihat ibuku sebelum meninggal, katanya jikalau nanti ketika aku berlayar keliling pulau dan melihat sesuatu yang berwujud keemasan itulah tempat suku Raufuk singgah.
Aku menelan ludah, sesuatu tidak percaya tengah kurasa. Nyatanya aku sudah berada di tempat tujuan. Tapi jika memang benar, apakah aku mampu menembus semak belukar yang berjejer duri dan di kelilingi ular-ular besar?! Tidak mungkin. Aku menghela napas, tertegun.
"Nak, kenapa kamu berhenti. Apa yang sedang kamu rasakan ?!"
"Tidak Yah, aku tidak berani masuk ke dalam, tidakkah ayah lihat keadaanku saat ini ?!."
"Astaga, maapkan aku Nak. Aku lupa, aku mengira kamu sudah lama hidup bersamaku. Maapkan aku Nak." ucapnya rengek
Beberapa menit lagi matahari akan memejamkan mata. Langit mulai menghitam. Bintang gemintang terlihat elok bertaburan.
Akhirnya aku paham, ternyata yang kulihat tadi bukanlah sesuatu yang berbahaya dan mematikan. Mempunyai kelemahan, di balik kesangarannya. Satu persatu aku mengikuti langkah Ayah yang tengah memberi obade, tidak perlu di takuti. Cukup berjalan penuh hati-hati.
"Jangan takut Nak, kalau kamu ragu. Tentulah tidak akan pernah mampu melewati."
Tanganku di pegang erat, Ayah menuntun aku berada di belakang. Tidak lama lagi langit malam akan menyelimuti, ayah menegaskan untuk lebih cepat lagi.
Benar, ini adalah suku Raufuk. Tempat Diana tinggal bersama keluarga, delapan tahun lamanya sudah tentu membuat Diana kenal lebih dalam perbedaan antara suku yang sebelumnya, tepatnya ketika masih bersamaku, suku Drowhas.
Lihatlah, orang-orang melalu lalang, membawa bambu sepanjang tangan, berlengan api. Sebelahnya memegang, sebelahnya menuntun anaknya, entah mau kemana. Aku mengulum senyum kebeberapa dari mereka, tapi mereka menatapku heran. Sinis.
"Hei Nak, tunduklah. Seakan kamu tengah menerima masalah." Ayah menasihati parau, yang sejurus kuikuti.
Perlahan tapi pasti, kehadiranku sungguh teramat asing buat mereka. Suku Raufuk, di dalamnya mayoritas berpakaian menutup aurat. Wanita tidak menanggalkan, pria pun demikian. Mereka nampak bersahaja, mulia. Kini aku tengah terkapar, tidur. Meluruskan badan di atas dipan beralas daun pandan. Ayah tersimpu, duduk di sampingku. Tangannya memegang tempurung kelapa berisi ramuan, serbuk pelipur luka.
"Tahan Nak, anggap saja ini hanya sebatas rasa sakit. Jangan kau pedulikan, abaikan dan lupakan. Ada baiknya jika kamu memikirkan sesuatu yang lebih serius untuk di selesaikan."
Matanya terpejam, mulutnya berkomat-kamit. Tangan kanannya tiada henti bergerak, meliuk-liuk di sekitar mangkuk tempurung kelapa. Serius.
Ada apa ini?! Mengapa ini terjadi?! Jujur, aku dari awal sudah merasa tidak enak hati. Hanya karena aku selalu berusaha supaya terlihat santai dan baik baik saja. Meski aku tahu bahwa ia memang Ayahku. Dan sekarang entah mengapa aku ragu, ini mengingatkanku pada masa lalu. Ya, benar sekali waktu itu tepat yang ia lakuin di hadapan ibu. Saat itu memang ia terlihat betul-betul untuk mengobati goresan luka ibu yang melembap di wajah, namun tidak demikian. Dengan kejam ia membunuh ibu, menusuknya berkali-kali, menggunakan pisau kecil.
Memang saat itu aku tidak menyaksikannya, membuatku mendesah tidak percaya. Sepucuk surat tertimbun di bawah bantal, kutemukan lima hari setelah kepergian ibu ke pangkuan Tuhan. Aku perlahan membuka mata, redap redup yang kurasa.
Rumah gubuk tua ini menyeramkan, saat aku baru melangkah masuk ke dalam sudah membuat jantungku berdebar kencang, takut. Dengan pelita penerang secukupnya, samar samar. Terlihat beberapa kepala hewan yang tersangkut di tembok kayu, bertanduk, bergigi runcing. Tapi mau bagamanapun aku harus tetap tenang, lagi-lagi Ayah mencoba membuatku jangan takut dan ragu.
Lima menit berjalan, Ayah menyuruhku bangun dari dipan, duduk. Tiba-tiba burung hantu yang berada di sangkar menatapku tajam.
Mendengar cerita putrinya, aku ikut terenyuh. Betapa beratnya beban yang menimpa Pak Redian, sungguh kisah tragis untuk kematian putrinya.
"Jadi di sini Pak, saat terakhir melihat putri bapak ?!" tanyaku tutur
Jawabnya mengangguk alon, \\. Wajah sepatnya tak kunjung berubah.
Kali ini aku harus berhati-hati bicara, jangan sampai membuat orang tua penghuni pulau ini bertambah sedih. Ya, aku harus memberikan aspirasi seperti ia menjadikan ku kembali semangat menjalani hidup.
"Pak, boleh aku sedikit cerita tentang tujuanku berkelana." tawarku menoleh, tersenyum
Lagi-lagi ia hanya mengangguk, isyarat memperbolehkan.
"Lima tahun lalu, aku pernah tertimpa masalah dalam kesengaraan hidup. Saat itu hampir setiap waktu aku bimbang, resah, dan merasa terkekang. Sungguh, putus asa bunuh diri sudah ada di depan mata."
Aku menghela napas. Suaraku mulai tercekat. Pak Redian menatapku antusias. Deru angin yang terus mengebas. Ombak-ombak tiada henti menerkam cadas. Jantungku berdebar, tidak kuasa untuk melanjutkan cerita. Sesekali tanganku mencekat air mata. Terdapat rasa kesal dan benci.
Suaraku terbata-bata melanjutkan cerita
"Semua orang di kampung halamanku membenci keluargaku, mereka selalu berbuat jahat kepada aku dan ibu. Entah, aku tidak mengerti maksud mereka begitu, tapi dengan suara garangnya mereka mengatakan bahwa karena ayahku lah yang membuatnya bersikap kejam pada aku dan ibu."
"Cukup Tamrin!"
Tamrin, itu namaku. Aku mendesis. Mengapa bisa tahu namaku orang tua ini ?! Dari mana dia bisa tahu ?! Atau jangan-jangan hanya kebetulan saja ?!. Kepalaku sedikit tersentak, kaget mendengar ucapannya. Aku menelan ludah, menolehnya nanar.
"Nak, itu adalah aku..."
Semakin heran perasaanku menyimpulkannya. Pengakuan apa yang dimaksud pak Redian bahwa itu adalah dia ?! Dahiku terlipat, memasang wajah penuh tanda tanya.
"Cukup nak, kamu tidak usah menatapku tajam. Biar ku jelaskan segala kebingungan yang teselip di pikiranmu," pak Redian mengadap ke arahku, akupun membenarkan posisi duduk, saling berhadapan. Pak Redian menarik napas, memulai cerita.
Lima menit berlalu, akhirnya jelas semua tentang perjalanan yang terjadi. Ya, pak Redian adalah ayahku. Ia mengenaliku sehabis meraih dan melihat tanda lahir bintang di bahu tanganku. Setelah sebelumnya mengatakan, "Tamrin, syukurlah tuhan pertemukan kita di sini. Tiada kebahagian terbesar bagi orang tua laki-laki, kalau bukan bertemu anaknya.
Terserah kamu mau panggil aku dengan sebutan apa saja, karena masa lalu yang membuatmu kini mencari kehidupan baru, lepas, kusut dan robek akibat karena perbuatanku dulu. Maafkan aku Nak. Aku janji tidak akan membuatmu sengsara lagi. Sekarang aku akan menemanimu kemanapun perjalanmu .Biarkan tubuh yang penuh dosa ini menghamba mencari ampunan putranya. Kamu pantas hukum aku nak, karena dulu tega berkhianat meninggalkan kamu, ibu dan semua warga, hanya demi selamat dari amukan massa."
"Ayah?"
Ucapan yang terlontar bernada getir. Aku memanggilnya ayah. Ia menggeleng, air mata terus mengalir, tertunduk.
"Ayah, inilah aku anakmu yah. Janganlah bersedih, kita sudah bertemu lagi."
"Nak, aku sangat rindu padamu, kepada ibumu, dan kepada semua orang yang pernah aku sakiti. Kiranya aku dapat bertemu mereka, cepat atau lambat aku akan menekuk lutut di hadapannya, bersujud meminta maap atas kesalahanku."
Perlahan tangannya menghapus air mata, orang tua yang kupanggil ayah berdiri, merangkul tanganku, membawa pergi.
"Sini Nak, kamu tinggal bersamaku, jangan curiga dan ragu, aku mengajakmu demi kebaikan kamu."
Langkah gontai, perlahan meninggalkan pulau. Sejauh mata memandang terlihat semak belukar berwarna keemasan, mengkilau. Aku terpacu, mataku menatap tajam. Alih-alih teringat nasihat ibuku sebelum meninggal, katanya jikalau nanti ketika aku berlayar keliling pulau dan melihat sesuatu yang berwujud keemasan itulah tempat suku Raufuk singgah.
Aku menelan ludah, sesuatu tidak percaya tengah kurasa. Nyatanya aku sudah berada di tempat tujuan. Tapi jika memang benar, apakah aku mampu menembus semak belukar yang berjejer duri dan di kelilingi ular-ular besar?! Tidak mungkin. Aku menghela napas, tertegun.
"Nak, kenapa kamu berhenti. Apa yang sedang kamu rasakan ?!"
"Tidak Yah, aku tidak berani masuk ke dalam, tidakkah ayah lihat keadaanku saat ini ?!."
"Astaga, maapkan aku Nak. Aku lupa, aku mengira kamu sudah lama hidup bersamaku. Maapkan aku Nak." ucapnya rengek
Beberapa menit lagi matahari akan memejamkan mata. Langit mulai menghitam. Bintang gemintang terlihat elok bertaburan.
Akhirnya aku paham, ternyata yang kulihat tadi bukanlah sesuatu yang berbahaya dan mematikan. Mempunyai kelemahan, di balik kesangarannya. Satu persatu aku mengikuti langkah Ayah yang tengah memberi obade, tidak perlu di takuti. Cukup berjalan penuh hati-hati.
"Jangan takut Nak, kalau kamu ragu. Tentulah tidak akan pernah mampu melewati."
Tanganku di pegang erat, Ayah menuntun aku berada di belakang. Tidak lama lagi langit malam akan menyelimuti, ayah menegaskan untuk lebih cepat lagi.
Benar, ini adalah suku Raufuk. Tempat Diana tinggal bersama keluarga, delapan tahun lamanya sudah tentu membuat Diana kenal lebih dalam perbedaan antara suku yang sebelumnya, tepatnya ketika masih bersamaku, suku Drowhas.
Lihatlah, orang-orang melalu lalang, membawa bambu sepanjang tangan, berlengan api. Sebelahnya memegang, sebelahnya menuntun anaknya, entah mau kemana. Aku mengulum senyum kebeberapa dari mereka, tapi mereka menatapku heran. Sinis.
"Hei Nak, tunduklah. Seakan kamu tengah menerima masalah." Ayah menasihati parau, yang sejurus kuikuti.
Perlahan tapi pasti, kehadiranku sungguh teramat asing buat mereka. Suku Raufuk, di dalamnya mayoritas berpakaian menutup aurat. Wanita tidak menanggalkan, pria pun demikian. Mereka nampak bersahaja, mulia. Kini aku tengah terkapar, tidur. Meluruskan badan di atas dipan beralas daun pandan. Ayah tersimpu, duduk di sampingku. Tangannya memegang tempurung kelapa berisi ramuan, serbuk pelipur luka.
"Tahan Nak, anggap saja ini hanya sebatas rasa sakit. Jangan kau pedulikan, abaikan dan lupakan. Ada baiknya jika kamu memikirkan sesuatu yang lebih serius untuk di selesaikan."
Matanya terpejam, mulutnya berkomat-kamit. Tangan kanannya tiada henti bergerak, meliuk-liuk di sekitar mangkuk tempurung kelapa. Serius.
Ada apa ini?! Mengapa ini terjadi?! Jujur, aku dari awal sudah merasa tidak enak hati. Hanya karena aku selalu berusaha supaya terlihat santai dan baik baik saja. Meski aku tahu bahwa ia memang Ayahku. Dan sekarang entah mengapa aku ragu, ini mengingatkanku pada masa lalu. Ya, benar sekali waktu itu tepat yang ia lakuin di hadapan ibu. Saat itu memang ia terlihat betul-betul untuk mengobati goresan luka ibu yang melembap di wajah, namun tidak demikian. Dengan kejam ia membunuh ibu, menusuknya berkali-kali, menggunakan pisau kecil.
Memang saat itu aku tidak menyaksikannya, membuatku mendesah tidak percaya. Sepucuk surat tertimbun di bawah bantal, kutemukan lima hari setelah kepergian ibu ke pangkuan Tuhan. Aku perlahan membuka mata, redap redup yang kurasa.
Rumah gubuk tua ini menyeramkan, saat aku baru melangkah masuk ke dalam sudah membuat jantungku berdebar kencang, takut. Dengan pelita penerang secukupnya, samar samar. Terlihat beberapa kepala hewan yang tersangkut di tembok kayu, bertanduk, bergigi runcing. Tapi mau bagamanapun aku harus tetap tenang, lagi-lagi Ayah mencoba membuatku jangan takut dan ragu.
Lima menit berjalan, Ayah menyuruhku bangun dari dipan, duduk. Tiba-tiba burung hantu yang berada di sangkar menatapku tajam.
1 komentar untuk "Aku Dia Dan Kapal Tua - Chapter 3"
Jangan lupa tinggalkan komentar, jika konten ini bermanfaat. Terima kasih.