Buya Hamka dan Sifat Pemaafnya yang Patut Dicontoh
Bagi kamu para penggemar Buya Hamka, kamu tentu sudah tahu tentang sederetan sikap bijak beliau. Nama Buya HAMKA (Haji Abdul Malik Karim Amrullah) memang sangat populer sebagai seorang ulama dan juga sastrawan. Biografi Buya Hamka pun sudah banyak ditulis dan banyak dicari oleh berbagai generasi.
Hamka terkenal dengan sederetan kepribadiannya yang begitu inspiratif, termasuk dalam sikap pemaafnya. Sebetulnya, Buya Hamka memang bukan orang yang lunak dan senang mengalah di berbagai kesempatan. Tapi, bukan berarti pula ia adalah orang yang keras dan suka menyimpan dendam.
Hal ini dibuktikan dari sikap pemaaf yang ditunjukkanya terhadap Sukarno. Hmm, memangnya, ada hubungan apa ya antara Buya Hamka dan Sukarno yang merupakan orang nomor satu di Indonesia pasca kemerdekaan?
Konsisten Menentang Nasakom
Sudah bukan rahasia sejarah lagi kalau Sukarno, semasa menjabat sebagai presiden, pernah begitu terlena dengan Nasakom. Nasakom adalah suatu konsep baru yang dibuat Sukarno sendiri dengan mengawinkan paham Nasionalis, Agama, dan Komunis.
Paham Nasakom tumbuh dengan begitu subur di Indonesia. Dalam waktu singkat, hampir semua elemen masyarakat dan pemerintahan dilandasi dengan paham Nasakom ini. Meski sudah sangat meluas, namun bukan berarti kondisi ini bisa diterima oleh seluruh elemen masyarakat di Indonesia loh.
Buya Hamka adalah salah seorang ulama besar tanah air yang secara terang -terangan menolak dan menentang pencampuradukan ketiga paham yang dinilai tidak sejalan tersebut.
Selama masa orde lama, Buya Hamka dengan konsisten selalu memusuhi Nasakom. Hamka perpandangan kalau orang yang memiliki Tuhan tidak akan pernah bisa berjalan beriringan dengan mereka yang mengingkari keberadaan Tuhan.
Pemikiran Hamka ini pun terus menerus disampaikan setiap kali ia berceramah di seluruh penjuru Indonesia. Secara tegas, ia menyampaikan sikapnya yang menentang ide Presiden Sukarno kala itu.
Namun, karena begitu larut dan bangganya Sukarno dengan idenya tersebut, sikap Buya Hamka ini jelas dianggap sebagai ancaman bagi Sukarno. Karena ia memiliki kekuasaan yang besar, maka mudah saja bagi Sukarno untuk memenjarakan Buya Hamka. Sukarno pun memerintahkan penahanan terhadap Buya Hamka.
Karena perintah Sukarno ini, Hamka harus menjalani kehidupan sebagai tahanan selama orde lama berlangsung. Baru setelah orde lama tumbang dan berganti orde baru, Buya Hamka bisa menghirup udara kebebasan. Dan pada era jatuhnya Sukarno ini pun, paham nasakom juga tumbang.
Baca juga: Kisah Inspirasi dari Petenis Nomor Satu Dunia “Beginilah Seharusnya Makna Syukur”
Tidak Ada Dendam bagi Sukarno
Pada masa orde baru, Buya Hamka sudah terbebas dari tahanan. Namun sebaliknya, Sukarno lah yang kemudian justru menjadi tahanan kota. Pemerintahan orde baru tampaknya membuat Sukarno begitu menderita, sampai akhirnya ia meninggal. Sukarno meninggal sebagai seorang tahanan dan dalam kondisi terasing dari dunia politik.
Kondisi Sukarno saat menjelang meninggal dan sampai ia meninggal memang sungguh memprihatinkan. Kabar Sukarno meninggal pun sampai di telinga Buya Hamka. Mendengar kabar duka ini, tanpa pikir panjang, Hamka segera bertandang ke rumah duka.
Di sana, Buya Hamka bahkan menjadiimam shalat jenazah untuk Sukarno. Melihat Hamka begitu tulus dan ikut berduka dengan kepergian Sukarno, para hadirin pelayat yang hadir di sana sungguh terhenyak.
Mereka semua tahu kalau Buya Hamka adalah musuh politik Sukarno. Bahkan, Sukarno pula yang pernah menjebloskan Buya Hamka ke dalam penjara. Namun, apa yang dikatakan Buya Hamka memang sungguh patriotis.
“Saya sudah memaafkannya. Setiap manusia pernah pnya salah, tapi Sukarno juga banyak jasanya.” Kata Hamka.
Bahkan, Hamka juga menegaskan bahwa “Saya tak pernah dendam pada orang yang pernah menyakiti saya. Dendam itu termasuk dosa. Selama dua tahun empat bulan saya ditahan, dan saya merasa itu semua merupakan anugerah yang tak terhingga dari Allah pada saya, sehingga saya dapat menyelesaikan kitab tafsir Al-Qur’an 30 juz. Bila bukan karena di dalam tahanan, tidak mungkin ada waktu bagi saya untuk menyelesaikan pekerjaan itu”.
Seperti itulah pernyataa Buya Hamka yang menunjukkan betapa besar jiwanya sebagai seorang negarawan. Hamka adalah sosok yang begitu pemaaf. Bahkan, beliau tidak pernah menganggap bahwa ada musuh yang abadi, juga permusuhan itu sendiri pun tidaklah abadi.
“Supaya engkau memperoleh sahabat, hendaklah dirimu sendiri sanggup menyempurnakan menjadi sahabat orang.” HAMKA - ulama dan sastrawan Indonesia.
*Penulis: Hasna Wijayati