Gerakan Protes Petani
Pada masa kolonial liberal, kaum modal atau yang dikenal sebagai tuan tanah menjadi sangat berkuasa. Tuan tanah dapat melakukan dan meminta apa saja pada para petani yang menggarap atau yang tinggal di tanahnya tersebut.
Kondisi ini tentu bukan kondisi hubungan kerja sama yang ideal. Akhirnya, keadaan ini pun memicu terjadinya pemerasan dan penindasan terhadap para petani. Kemudian, hal ini lebih lanjut mengakibatkan munculnya gerakan protes petani.
Gerakan protes petani terjadi pada abad ke – 19. Gerakan ini terwujud dalam kerusuhan yang berlangsung di Ciomas. Gerakan protes petani dipimpin oleh Arpan dan Mohammad Idris. Kemunculan gerakan petani ini bermula dari perasaan tidak senang para petani terhadap tindak kesewenang – wenangan yang dilakuakn terhadap mereka.
Protes petani ini dimotori oleh Barisan Tani Indonesia, atau yang disingkat dengan BTI. Organisasi BTI merupakan organisasi tani yang pernah ada dan mempunyai basis cukup luas hingga di pedesaan. Munculnya Organisasi BTI juga dipicu oleh ketidakpuasan dalam pelaksanaan land reform yang dilakukan oleh panitia desa yang terdiri dari tuan tanah desa dan elit desa.
Panitia land reform yang ada di desa dinilai telah menyimpang dari tujuan land reform yang sebenarnya.
Padahal, tujuan land reform yang ada di Indonesia pada dasarnya adalah positif. Sebagaimana yang disampaikan oleh Menteri Agraria Sadjarwo, pada pidatonya tanggal 12 September 1960, tujuan land reform yaitu sebagai berikut.
- Mengadakan pembagian yang adil atas sumber penghidupan rakyat tani yang berupa tanah dengan maksud agar ada pembagian hasil yang adil. Untuk itu, struktur pertanahan harus dirombak secara revolusioner guna merealisasikan keadilan sosial
- Untuk melaksanakan prinsip tanah yang ditujukan bagi para petani
- Untuk memperkuat dan memperluas hak milik atas tanah bagi setiap warga negara Indonesia
- Mengakhiri sistem tuan tanah dan menghapus kepemilikan dan penguasaan tanah secara besar – besaran.
Khusus untuk wilayah Klaten, land reformnya juga memiliki ketentuan lain, yang meliputi:
- Larangan menguasai tanah pertanian yang melampaui batas
- Larangan pemilikan tanah secara absentee
- Redistribusi tanah – tanah kelebihan dari batas maksimum serta tanah absentee
- Pengaturan tentang tanah yang digadaikan
- Pengaturan kembali bagi hasil tanah dan larangan untuk memecahkan pemilikan tanah pertanian menjadi kecil.
Simak juga: Penjualan Tanah Partikelir
Gerakan protes petani merupakan akumulasi dari keresahan sosial yang dirasakan oleh para petani. Keresahan sosial tersebut muncul, sebagai akibat proses eksploitasi dan pemaksaan kehendak tuan tanah dan kebijaksanaan pemerintah di daerah Klaten. Dua pihak lawan tersebut, dijelaskan oleh BTI, sebagai pihak penikmat surplus saja dan menghalangi akses terhadap tanah melalui harga sewa, pajak, dan institusi ekonomi lainnya.
Gerakan protes petani dimulai dalam bentuk – bentuk sporadis ketegangan antar pribadi, yaitu petani dengan tuan tanah. Selanjutnya pribadi dengan perkebunan, hingga dalam bentuk perlawanan, pada tahun 1964 dengan organisasi BTI sebagai penggeraknya. Perlawanan petani yang berawal dari motif ekonomi, sewa tanah, dan pajak, kemudian justru beralih ke motif politik dan didukung oleh sistem yang lebih terorgansir.
Gerakan protes petani ini semakin meluas dan juga terjadi di Surabaya. Di Surabaya, gerakan protes petani dipimpin oleh Sadikin. Sadikin mempengaruhi masyarakat yang ada di Surabaya dan sekitarnya agar menolak kerja paksa yang tengah berlangsung. Untuk memperkuat tuntutannya ini, mereka melakukan ancaman dan intimidasi.
Gerakan protes petani, selain terjadi di Surabaya, juga terjadi di wilayah Semarang. Gerakan protes petani yang ada di Semarang ini dipelopori oleh para kusir gerobak. Pemimpin gerakan protes petani di Semarang ini dipimpin oleh Sukaemi dan Raden Akhlad. Mereka menolak untuk membayar pajak pada pemerintah daerah di Semarang.
Gerakan protes petani yang lain juga dilakukan oleh petani di wilayah Ciomas lereng gunung Salak. Di wilayah ini, protes dilakukan dengan jalan melancarkan serangan – serangan pada orang – orang Belanda ketika sedang mengadakan pesta di desa Gadok.
Pada serangan yang berlansung pada tahun 1886 tersebut, sebanyak 40 orang Belanda terbunuh. Kemudian ada juga sederetan perlawanan petani terhadap tuan tanah lain lagi yang berlansung di Ciampea, Pemanukan, Ciasem, Slipi, dan Condet yang berlangsung pada tahun 1913.
Referensi:
- Pujiastuti, Y.S., Tamtomo, T.D.H., dan N. Suparno. IPS Terpadu untuk SMP dan MTs Kelas VIII Semester 1. Jakarta: Erlangga.
- Soegijanto, P dalam Sasongko. 2000. Land Reform dan Gerakan Protes Petani Klaten 1959 – 1965. Yogyakarta: Media Pressindo dan Konsorsium Pembaruan Agraria.
- Tugiyono., dkk. 2004.Pengetahuan Sosial: Sejarah SMP Kelas 2. Jakarta: Grasindo.